Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik "Air Susu Dibalas Air Tuba" a la Presiden SBY

7 Februari 2018   18:17 Diperbarui: 7 Februari 2018   18:18 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam program Rosi di Kompas TV (Kompas TV)

Politik air susu dibalas air tuba ala Presiden SBY, cukup menarik tantrumyang diperlihatkan Presiden SBY kala menghadapi kemungkinan kasus yang menyasar keluarganya. Satu sisi benar dengan membuat laporan kepolisian atas perlakuan yang dirasa tidak menyenangkan dan membuat pernyataan di depan publik. Namun sebagai seorang presiden, ingat bukan mantan dan tidak ada mantan, biar ada kesinambungan dan tidak lepas tangan jika ada masalah pun prestasi.

Pernyataan air susu dibalas air tuba sebenarnya hal yang sangat lucu atau ironis bagi seorang Presiden SBY yang telah malang melintang di dalam dunia politik praktis. Kan ada juga sebentuk keyakinan pada sisi lain politik itu tidak ada makan yang gratis dan tidak ada kawan dan lawan abadi. Apa lupa atau abai. Bagaimana perasaan Anas, Nazar, Angie, dan almarhum Sutan Batugana coba, apa mereka tidak mengatakan rasain....

Soal adanya catatan anak Pak Presiden, atau ucapan yang berkali-kali, toh tidak  jadi urusan KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Ingat soal 600 juta yang diucapkan dalam persidangan dipersamakan dengan tahu bulat itu pun tidak ada tindak lanjut. Apa nama Ibas baru kali ini disebut? Tidak bukan, Anas, Nazar, sudah sering sebut, tidak ribut dan tidak diusut juga. Dengan pelaporan dan penyataan soal susu dan tuba, perang, fitnah, megeluh ke Pak Jokowi, dan sebagainya justru kontraproduksi bagi keberadaan Pak Beye dan Partai Demokrat sendiri.

Negara hukum. Pelaporan memang juga bagian dari negara hukum, namun itu kuno, kalau tidak mau dikatakan ndeso, produk kolonial yang mau membungkam suara atas "penguasa" atau orang yang memiliki "kuasa." Alangkah lebih berjiwa ksatria dan negarawan kalau, membiarkan proses hukum berlangsung apa adanya. Jika memang tuduhan, tulisan, anggapan itu tidak berdasar, tidak ada bukti tentu akan usai dengan sendirinya. Ingat, semakin tinggi akan semakin besar angin yang menerpa. Mau enak dan tenang saja, ya duduk di rumah dan tidak di dunia politik.

Pelaporan dengan pasal fitnah dan perlakuan tidak menyenangkan, memang kental aroma kolonialisme, bagaimana ranah rasa sebagai "pembesar" yang tidak  bisa disentuh oleh perilaku "kawula" dengan berbagai cara. Selalu merasa tidak bisa salah, merasa lebih sehingga selalu benar, disentuh atau disebut sebagai "penghinaan" kurang menghormati, dan sikap priyayi serta borjuis lebih mengemuka.

Sebenarnya Pak Beye justru menjadi negarawan, pelopor penegakan hukum modern dan bisa diingat serta dicatat dengan tinta emas jika mau menyerahkan seluruh kasus yang menyangkut beliau dan keluarga dengan prosedur hukum. Hadir saja ke KPK dan meminta diperiksa sehingga jelas kasus hukumnya. Katanya percaya negara hukum, hukum sebagai panglima, jika memang tidak bersalah kan bersih, jangan memberi contoh bahwa ke KPK itu pasti jahat dan  korup. Pemahaman yang sesat mengenai penegakan hukum dan KPK jika demikian. Dengan demikian prasasti dan tinta emas itu tidak akan luntur bahkan oleh waktu. Sejarah akan mencatat keberanian menghadapi tuduhan dengan ksatria dan memberikan warna berbeda.

Miris melihat reaksi Pak Beye ini, tidak beda dengan sumpah Anas, yang mau digantung di Monas atau Pak Akil yang mau jarinya dipotong, toh juga dipidana juga. Atau Setya Novanto yang benjol dengan bakpaonya, pembelaan dari koleganya, pun akhirnya "mengakui". Hampir semua yang berkaitan dengan KPK memang muaranya penjara, belum banyak yang bisa berkelit, ini yang mungkin membuat jerih Pak Beye, membayangkan puteranya kena juga oleh jaring KPK.

Ada nuansa Pak Beye lebih cenderung yakin KPK akan membuktikan puteranya terjerat daripada sebaliknya nampaknya. Tidak berlebihan jika melihat reaksi yang tidak cukup proporsional demikian. Kata-kata perang segala tidak patut, dulu sebagai panglima tertinggi TNI mengapa tidak menyatakan perang pada ketidakadilan, korupsi, dan narkoba? Kobaran yang tidak sebanding antara korban dan pelaku daripada jika rakyat menderita kerena perilak korup dan tamak, bisa juga menjerat keluarganya.

Diam pun sebenarnya jauh lebih "aman" dan menunjukkan kematangan sebagai seorang presiden, dua periode, militer lagi. Bagaimana dengan banyaknya pernyataan yang emosional, malah membuat keadaan tidak makin baik, malah membuat riuh rendah yang miskin esensi. Kesiapan sebagai warga negara untuk mengikuti proses hukum  jauh lebih bijaksana dan berwibawa daripada membela diri bak babi buta yang malah bisa ke mana-mana.

Apalagi reaksi Pak Beye in masih belum sebagai fakta hukum, pernyataan pengacara yang membela kliennya, pun kalau tidak salah bukan di pengadilan. Lha banyak nama masuk dalam fakta hukum saja tenang-tenang saja kog. Mengapa harus berkepanjangan. Miris jika nanti diteruskan dan memang demikian, bagaimana coba?

Kehormatan, prestasi, dan nama baik itu tidak perlu digembar-gemborkan, tidak perlu dinyatakan, akan tertulis dengan dalam di prasasti bangsa dan negara. Ditutupi seperti apapun akan menguar harum. Atau karena tahu tidak ada yang baik yang akan menguarkan keharuman, maka dipertahankan dengan segala cara? Jika iya, kasihan juga.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun