Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak

23 Januari 2018   06:22 Diperbarui: 23 Januari 2018   08:12 11570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://media.nationalgeographic.co.id

Peran orang tua dalam pendidikan anak, jelas dan tegas bahwa mereka adalah pendidik yang utama dan pertama. Pertama karena merekalah yang memberikan pengajaran, pendidikan, apapun itu untuk perdana kalinya. Ada di tangan mereka jelas untuk memberikan pengaruh dan arah untuk menjadi apa dan seperti apa. Utama, karena merekalah yang memiliki tanggung jawab, kewajiban, dan kuasa untuk menjadikan anak seperti apa.

Keterbatasan kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, teknik, dan keahlian, negara memiliki tanggung jawab untuk membantu mereka dengan mengadakan sekolah. Guru yang memiliki kewenangan untuk memberikan pendidikan yang dipercayakan oleh orang tua dan negara kepada mereka. Ingat, namun mereka bukan mengambil alih, dan menjadi tumpuan satu-satunya pendidik bagi pendidikan anak.

Kerjasama, saling melengkapi dan memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitas, batasan, dan ranah masing-masing. Hal itu tertu adanya konsensus yang diatur oleh negara, sehingga pendidikan itu ada yang namanya tujuan pendidikan nasional dan seterusnya. Kewajiban lembaga pendidikan tentu seturut dengan tujuan pendidikan tersebut.

Kesulitan orang tua. Jelas karena pertimbangan ekonomi, lebih efektif dan efisien bahwa pendidikan itu dilakukan oleh guru yang memang mendapatkan pendidikan yang telah teruji dan tervalidasi, guru yang memang profesional dengan bidangnya. Namun demikian, orang tua tidak bisa kemudian lepas tangan dengan alasan tidak memiliki bekal pendidikan dan telah membayar misalnya. Hal ini bukan sifat dasar pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah naluriah dari orang tua ke generasi berikutnya. Tentu bahwa pendidikan modern tidak cukup dengan hal demikian.

Keterbatasan waktu di antara banyak kewajiban lain, orang tua memang wajib "menitipkan" anaknya ke lembaga pendidikan. Baik formal ataupun informal, demi tumbuh kembang anak. Mereka karena memang tidak tahu, karena kesibukan, karena keterbatasan skil, layak untuk memberikan kepercayaan kepada lembaga pendidikan untuk membantu, ingat membantu bukan memberikan oper tanggung jawab dan peran pendidikan.

Pendidikan modern memang tidak cukup sebatas tradisi, warisan, atau pendidikan turun temurun seperti zaman dulu lagi. Namun sering timbul salah paham bahkan menjadi paham yang salah karena keterbatasan pemahaman, pengetahuan, atau sikap egois beberapa pribadi.

"Memanjakan" anak atas nama kasih. Kasihan karena tidak pernah memperhatikan, contoh orang tua yang bekerja sepanjang hari, atau bekerja luar kota, bahkan lua negeri. Ketika ada kesempatan bersama, pekerjaan rumah pun diambilalih dan membuatkan, bukan lagi dan semata membantu. Membuatkan, atau menyusunkan jadwal untuk esok hari. Sikap tanggung jawab yang hendak ditanamkan bisa rusak jika tidak disadari dan adanya atas nama kasih atau kasihan ini. Hal ini  bisa terjadi  bahkan pada orang tua yang berpendidikan tinggi sekalipun.

Memaksa anak menjadi apa yang biasanya orang tua tidak bisa menjadi apa. Contoh, karena orang tua gagal  menjadi ahli mesin, karena kemampuan bisa masalah kemampuan otak, ekonomi, atau yang lain, memaksakan anak untuk menjadi ahli mesin.  Anak itu bukan boneka orang tua. Anak memiliki hak untuk menentukan apa dan mau menjadi apa atas hidupnya. Orang tua hanya menjadi fasilitator.  Membeayai itu adalah kewajiban bukan menjadi beban bagi anak, dan senjata bagi orang tua. Orang tidak tidak memiliki hak sama sekali atas ini.

Les dan bimbingan belajar. Orang tua yang memiliki berkat lebih, biasanya memberikan bimbingan belajar bagi, bisa mengundang mentor ke rumah, atau mengirim anak ke rumah si mentor, atau ke lembaga bimbingan belajar. Sepanjang anak tidak tertekan, bukan mengambil alih pembuatan tugas, dan waktu anak untuk bebas dan bermain tetap ada, masih wajar. Jangan sampai anak di kelas di sekolah resmi malah ogah-ogahan dan becanda, dengan asumsi bayar "lebih murah." Hal ini marak di mana anak jauh lebih serius di bimbel mereka daripada di sekolah.  Kesalahannya adalah ketika malah di sekolah mereka menjadi abai karena merasa sudah belajar di bimbel. Seolah sekolah menjadi ajang bermain karena "mura" dan temannya di "bawah"  mereka. Bimble itu melengkapi bukan malah menjadi pesaing bahkan mengganggu pendidikan.

Sikap orang tua yang merasa membayar. Sikap yang sangat tidak semestinya. Hal ini diperparah oleh sekolah dalam naungan yayasan yang "slip" dengan orientasi mereka sehingga murid adalah aset, guru tidak boleh "menyentuh" murid, salah sekalipun. Orang tua karena sudah membayar tidak mau bekerja sama untuk mendidik, memberi pendampingan bagi anak, dan melepaskan begitu saja. Jika ada keadaan anak di luar kendali, menyalahkan guru dan sekolah.

Sistem bernegara yang lebay. Komnas anak, kepolisian, dan bahkan UU yang ada, malah membuat guru ketakutan, cemas untuk bisa berbuat banyak bagi peserta didik. Sedikit-sedikit lapor polisi, KPAI, dan lainnya, mau tidak mau guru enggan mau mendidik sebagaimana mestinya. Mencari aman selesai. Anak mau mblangkrakterserah, yang penting tidak masuk bui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun