Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Media Sosial, "Tuhan" Pemarah, dan Berhala Bernama Tuhan

10 Januari 2018   12:38 Diperbarui: 11 Januari 2018   02:21 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Media sosial, "tuhan" Pemarah, dan Berhala bernama "tuhan", kemarin diskusi dengan ponakan, eh dia bilang gawea tulisan, mosok tuhan sekarang menjadi pemarah seh.... Pagi ini  gak punya ide tulisan, eh mendingan baca-baca, dan ada dua buku dalam pagi ini yang saya buka, satu Awareness,hadaiah dari Kompasianer yang lama gak kelihatan Bapak Teha Sugiyo, ini membaca kedua kalinya. Berbeda ternyata, ada pemahaman dan pemaknaan baru. Eh pas bahasannya mengenai Tuhan dan tuhan yang menjadi berhala. Buku kedua, mengenai Nietzsche, Potret Besar Sang Filsuf. Ini pun berkaitan dengan Tuhan.

Tidak perlu sensi apalagi menghakimi sebagai ateis atau menodai agama. Saya tidak akan masuk ranah agama yang bukan bidang kajian di sini, (K), dan deretan panjang dari Ahok, Joshua, Bang Zul, dan juga Ge P, tidak perlu diperpanjang. Pengalaman, kalau gak percaya, bukan akun Youtubesaya, isinya "memalukan".

Suatu hari, pagi-pagi banget, cucu sangat jauh dari ibu datang karena rekomendasi eyangnya untuk meminta bunga kana. Bunga apa kana, itu tidak tahu, anaknya juga tidak, ibu juga tidak, naluri saja diberi kira-kira ini, seperti definisi si anak. Midro, kami menyebutnya. Dan ketika tanya simbah googel, eh memang benar.

Hari  yang lebih lama juga ada yang datang, malah tidak kenal. Disuruh oleh dukun untuk meminta pohon beteng.Kembali tidak tahu apa itu pohon, dan sudah definisi dari si dukun dengan ciri-ciri ini dan itu, diberilah pohon yang kami pun tidak paham namanya. Selang hari si pencari betengdatang dan menyatakan terima kasih karena sudah sehat.

Entah mengapa bicara Tuhan dan agama sekarang menjadi begitu riuh rendah. Padahal ingat ini contoh jangan  kayak Srimulat atau Dagelan Mataram, berkelahi hanya karena umpama.Tuhan itu kan konsep yang dipakai untuk lebih mudah mengenal, memahami (meskipun tidak akan bisa paham) mengenai yang Transenden. 

Umpama lagi, mesin penghasil pil, tentu jauh lebih besar dari pil bukan? Apakah pil bisa "menampung" mesinnya? Jelas tidak bukan? "Ramainya" selama ini adalah saya bicara trembesi eh sebelah omong pohon besi, saya bicar mahoni, dia bincang meranti. Apalagi jika satu pihak sok tahu dan memaksakan kehendak untuk tahu dan paham. Pohon besi itu biasa disebut juga kayu hitam, sebelah yang tahunya trembesi, bisa mengiyakan, pas bicara kalau tahan air, wah trembsi gak begitu. Apalagi berbicara kerasnya kayu ulin itu.

Konsep. Semua itu bermula karena konsep. Tuhan yang diajarkan oleh satu dengan orang lainnya bisa jauh berbeda. Karena penafsiran, konsep, yang berkaitan pula dengan adat dan istiadat tertentu. Bagi yang belum pernah hidup di kawasan rawa-rawa sulit paham kalau kayu besi bisa tahan akan air puluhan tahun, karena kayu jati yang paling keras di tanah Jawa sangat benci air, kena air mudah lapuk dan busuk. Sebaliknya, penduduk yang hidup dengan kayu besi bisa heran menyaksikan sengon dalam waktu dua tahun sudah cukup besar.

Ironis lagi, ketika tuhan malah menjadi berhala. Apa yang menyebabkan demikian? Orang berkelahi dengan pemahaman sendiri, bukan apa yang sejatinya dimaui Tuhan dan Kitab Suci. Kembali soal pil dan mesin tadi. Thomas Aquinas seorang teolog dan sekaligus filsuf menyatakan Tuhan itu misteri, yang tidak akan pernah bisa dipahami dengan akal dan nalar manusia. 

Pengenalan dan penjelasan hanya sebentuk konsep, bagian per bagian. Sebagaimana poho trembesi yang dipahami di sebagian pihak dan pohon besi oleh sebagian pihak, ada yang sama, ada pula yang berbeda, toh sama pohonnya.

 Jika bicara pohon tanpa besi atau trembesi, toh bayangannya akan sama, ada batang, akar, daun yang rimbun dan hijau. Saya juga tidak akan paham kog dijelaskan pohon sakura, indahnya kalau berbunga, karena saya belum melihat itu, apa itu saya bodoh dan salah? Ini yang sering menjadi masalah, saya dinilai bodoh dan salah, karena diterangkan sakura saya tidak tahu. Pemaksaan yang sama inilah kesalahan yang fatal dan mencari legitimasi pada agama dan Tuhan sebatas konsep masing-masing.

Berhala ketika menyatakan jalan sebagai Tuhan itu sendiri. Mirip dengan budaya perkawinan Betawi yang menggunakan petasan, menunjukkan mempelai datang. Bisa saja masih sangat jauh kan jalan utama, dan ada yang berteriak, mempelai datang, keluarga mempelai yang belum pernah berkunjung berpikir sudah dekat, padahal masih dua kelok lagi. Jalan bukan tujuan, agama bukan Tuhan. Tuhan jelas juga bukan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun