Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Ngawur] Adakah Pejabat Tinggi Negeri Pernah Jadi Pembunuh?

22 Mei 2017   18:38 Diperbarui: 22 Mei 2017   18:52 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[Ngawur] Adakah Pejabat Tinggi Negeri ini Dulu Pernah Jadi Pembunuh?

Duka lagi dari dunia pendidikan, kedinasan, dan asrama. Seorang taruna Akpol meninggal karena kebiadaban sesama mahasiswa calon petinggi negeri ini. membaca artikel berita pertama langsung jadi ingat bagaimana seorang calon pemimpin mengidupi harian mereka dengan kekerasan.

Sebuah tanya, apakah petinggi negeri ini yang dulu dari Akabri, STAN, STPDN, atau pun Akpol dan yang lainnya terlibat dalam pembunuhan dan sekarang menjabat jabatan penting di instansi masing-masing? Bisa di jajaran Kementrian Dalam Negeri, TNI, atau Polri, juga Kementrian Keuangan, dan lembaga sejenis.

Bandingkan dengan tawuran anak sekolah menengah, mereka jauh lebih jantan, berhadapan muka, setara, dan sama-sama bersenjata, atau sama-sama tangan kosong, kalau yang ini, satu pihak yang berkuasa dan satunya pihak yang dianiaya, tanpa perlawanan, selain rintihan, jika masih boleh. Dan lagi mereka berpotensi jadi pejabat tinggi negeri.

Adakah yang menjabat jabatan tinggi? Sangat mungkin. Mengerikannya, adalah jika mereka tertawa di atas derita rekannya yang masuk penjara, dipecat, dimusuhi keluarga, dan bisa saja jadi bandit atau teroris. Bisa saja mereka menyuap, mengintimidasi, dan mengatakan kalau mereka bersih dan orang lainnya yang menderita. Harapannya tidak ada pejabat negeri yang demikian, selain mereka yang berkualitas intelektualnya juga sikap mental dan kepribadian yang jempolan.

Pengawasan,

Lucu dan aneh sebenarnya jika pengawas tidak tahu ada “pergerakan” sekian mahasiswa tanpa diketahui, mosok zaman modern begini belum ada CCTV, atau pengawasan bentuk lainnya. Sangat lucu, ironis, dan miris kalau selalu seperti itu. Pengawasan yang sangat lemah dan tidak seharusnya demikian. Ini bukan soal pengawasan namun memang tabiat yang suka kekerasan, senioritas, dan kekuasaan yang salah makna.

Kekerasan bukan jawaban atas kedisiplinan

Keteladanan jauh lebih penting dan mendasar daripada pemaksaan dan kekerasan. Ini manusia bukan hewan yang perlu diajar dengan pukulan dan hajaran. Manusia bisa berpikir dan merasa. Bagaimana jika keteladanan tidak ada namun malah hanya tuntutan dan tuntuan. Miris lagi ini mahasiswa pilihan, dididik untuk jadi petinggi negeri, pemimpin masa depan, dan juga kalangan ilmiah. Selalu saja terulang, dengan dalih yang identik, pendisiplinan, ada kesalahan.

Keteladanan.

Bagaimana kaum muda termasuk mahasiswa bisa belajar kebaikan, ketika elit negeri bertikai berebut kuasa. Jangan mengatakan berpelukan, cipika cipiki, atau senyum di depan media, namun toh jelas terbaca mereka saling jegal, saling sikat, saling sikut, dan itu makin terbuka dan vulgar. Dari mana mereka belajar disiplin, kerjasama, dan saling menghormati jika demikian yang disaksikan?

Bagaimana jika ada yang aman dan lolos dari hukuman waktu mahasiswa dan kini atau kelak menjadi pejabat negeri?

Sikap iri dan kemarahan serta dendam yang pernah “dikorbankan”

Hal ini tentu tidak mudah untuk diurai, diselesaikan, dan didamaikan, apalagi jika sampai dipidana, dan menjadi orang terbuang karena kasusnya. Ingat mereka bukan orang bodoh, mereka sudah terpilih dan didik dengan baik. Perasaan terbuang dan dendam bisa menjadi luar biasa besar, jangan kaget kalau jadi penjahat yang sangat keras, brutal, atau teroris yang merongrong negara. Padahal jelas tidak sedikit.

Pejabat namun pernah menjadi pelaku kriminal

Miris jika demikian, apakah berlebihan jika dikatakan, pantes maling berdasi tidak pernah kurang, karena sejak awal mereka biasa menghidupi perilaku demikian. Hati nurani mereka sejak awal telah tumpul dan tidak terusik dengan bisikan hati nurani sendiri. Jangan heran yang penting kursi dan uang bukan soal kebenaran dan bangsa ini.

Penegak hukum dalam pendidikan melanggar hukum

Miris dan sangat menyedihkan. Mereka biasa mengelabui hukum dan peraturan demi kekuasaan dan kepuasan batin yang penuh kekerasan. Menyedihkan bagaimana mereka mau mengawal hukum jika mereka sendiri tidak pernah taat aturan? Jangan pisahkan pendidikan dari kehidupan sehari-hari.

Apa yang bisa dilakukan?

Penegakan hukum

Memang selalu melibatkan hukum, namun apakah pernah benar-benar terjadi peradilan, pidana, dan menjalani hukuman dan ada perubahan sikap dari terhukum? Jangan-jangan mereka malah belajar di penjara dan “sukses” jadi jauh lebih jahat?

Hukum yang adil, bukan memilih

Susah disangkal kalau sekolah-sekolah tersebut diisi anak-anak pejabat. Apakah benar-benar serius menghukum atau emilih tumbal? Jika sudah benar-benar adil, bisa diharapkan perubahan.

Terus terang dan jangan atas nama korps selalu saja ditutup-tutupi

Lembaga dan instansi itu bagian dari negara dan masyarakat. Jangan bohongi masyarakat dan negara demi atau atas nama korps yang sangat ecil itu. Yang jelek dan jahat itu manusianya, bukan korpsnya.

Pendidikan yang harus dibenahi

Duduk bersama soal pendidikan, yang dipikirkan oleh orang pendidikan, bukan orang di luar yang sok tahu tentang pendidikan, termasuk di lembaga yang berasrama, yang selalu terulang kekerasan demi kekerasan. Pendidikan tiang bangsa, jangan sampai terlambat dan berlarut-larut, saatnya berubah dan berbenah.

Keterbukaan

Selalu saja atas nama korp kasus demi kasus diselesaikan sendiri, selesai atau ditutupi, ini masalah yang bisa menjadi bola salju ketika punya kuasa. Jangan heran kalau terjadi pemerintahan yang kental akan kekerasan.

Nada pesimis, jangan lebih buruk lagi dengan isu yang terdengar, soal aborsi di lembaga berasrama, penuh harap untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih berkualitas. Semua bisa kalau ada kemauan.

Jayalah Indonesia

Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun