Membaca Cara Berpikir Lurus Ala Fadli Zon
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/01/17545311/fadli.zon.indonesia.lebih.butuh.arab.saudi
Berita di Kompas. Com itu menyajikan bagaimana Fadli Zon melihat lebih butuh mana antara Indonesia atau Kerajaan Arab Saudi, berdasar ia seorang pejabat tinggi negara, namun jika pola pikirnya seperti itu, apa jadinya negara ini?
Pertama, ia mengatakan negara ini lebih butuh berkaitan dengan Tanah Suci, berarti soal ibadah keagamaan, hal ini tidak bisa disangkal dan memang benar adanya. Namun menyimak lebih jauh, malah sebaliknya. Ada apa dengan seorang pimpinan dewan namun pola pikirnya demikian?
Kedua, ia menyatakan bahwa Arab lebih butuh namun ia juga mengatakan kita ini strategis, hanya saja kurang menyadari dan bla...bla...bla...lho? Apa gak kebalik jika demikian?
Ketiga, soal Amerika Serikat, waduh, siapa ya yang dulu photo dengan salah satu capres dan sekarang jadi presiden USA itu? Atau sudah lupa ingatan dengan kegiatannya sendiri?
Apa yang dikatakan dan rekam jejaknya memang tidak meyakinkan soal logika dan cara berpikir lurus Ala Fadli Zon. Susah jika memang logika dikalahkan perasaan yang diisi dengan kejengkelan kalau tidak terlalu kasar kebencian akibat pra pilpres hingga pilpres.
Satu, soal pengedit gambar Jokowi dengan Bu Mega, bagaimana ia membela mati-matian dan meminimalisir kesalahan dengan berbagai dalih dan menyatakan itu kekhilafan dan malah mengnjungi segala, namun ketika si pelaku mengulangi lagi dengan perilaku kekerasan seksual, langung mengatakan hukum saja, karena tidak ada Jokowi dan Megawati yang membuatnya jengkel.
Dua, soal putrinya yang ke Amerika dan membuat heboh itu. Dengan mudah ia mengembalikan uang yang pernah diminta, coba jika pihak lain dalam hal ini Jokowi atau keluarganya, apa yang akan ia lakukan?
Tiga, presiden ke USA kunjungan kenegaraan, sedang negara sedang panen kabut asap dikomentari dengan negatf, ketika pulang dikatakan wisata bencana asap untuk apa? Bagaimana kunjungannya sendiri tidak beres tidak ia lihat, jika pihak lain terutama Jokowi, pasti ia heboh mengupasnya.
Empat, saat presiden mengurus recehan pungli, menurut istilahnya, yang ia nilai berkualitas itu jika bernilai M pas maling. Kecil itulah awal kebobrokan, namun tidak ia lihat.
Benarkah Indonesia, lebih perlu Arab Saudi?
Jika demikian, mengapa Arab Saudi yang datang? Logika bodohnya begini, jika kita perlu tangga untuk memperbaiki genteng, kita datang ke tetangga yang memiliki tangga atau sebaliknya? Mudah bukan? Hal yang sangat masuk akal, apalagi soal kepentingan Arab Saudi dengan Indonesia sangat membantu mereka juga. Haji itu bukan kegiatan gratis, tanpa apapun yang membuat pemasukan buat kerajaan tentunya. Perputaran ekonomi yang sangat besar. Hotel, katering, biro perjalanan, transportasi, dan sebagainya. Itu tidak ada yang nol rupiah atau real bukan?
Dua, lihat saja 47 tahun, bukan waktu yang singkat bagi kunjungan seorang kepala negara ke negara sahabat tentunya. Waktu yang panjang, selama ini dipandang sebelah mata, maka tidak perlu dikunjungi, termasuk (tidak perlu sensi, jernih lah membaca),perilaku terhadap TKI Indonesia, seperti tidak ada perhatian, hukuman mati dan denda yang selalu merangkak naik.
Tiga, jika Indonesia lebih perlu, tentu presiden Indonesia yang akan mengupayakan adanya kunjungan prioritas. Tidak perlu raja yang sudah hampir setengah abad tidak datang itu  kembali menyambangi negara sahabatnya.
Apakah perlu melihat mana yang lebih perlu di dalam hubungan bilateral?
Ini sebentuk komunikasi pejabat tinggi negara, yang maaf sangat buruk. Kunjungan kenegaraan itu tidak perlu dimaknai siapa butuh siapa, namun keduanya menjalin persahabatan yang saling menguntungkan dan lebih erat, bukan siapa mendapat siapa. Ada ketersalingan.
Bangsa ini bangsa besar, namun heran mengapa gagap dengan apapun yang bentuknya asing, lihat saja trio pimpinan ini kala bangga berphoto dengan Donald Trump dan para perempuan kelincinya, kini sangjungan untuk negara sahabat dan merendahkan bangsa sendiri. Apakah akan terus menjadi bangsa yang masih suka dianggap rendah oleh asing? Dan mirisnya pejabat tinggi negara saja berlaku seperti itu.
Dalam hemat saya, komentar yang ia lontarkan bukan obyektif apa yang ia pikirkan dan pahami, hanya sebentuk ketidaksukaan atas prestasi pemerintah, apapun bentuknya akan dinegasi oleh pola pikir, perbuatan, dan komentarnya.
Revolusi mental bukan hanya untuk anak sekolah, justru untuk pejabat negara sekelas ini. Bagaimana bisa seenaknya sendiri bersikap mendua begini. Jika pemerintah selalu salah, jika menguntungkan diri dibela mati-matian, termasuk adalah pelaku kriminal, namun sebaliknya jika tidak menguntungkan, buang begitu saja.
Sikap tidak terima kekalahan, sehingga bisa melakukan banyak hal yang sering adalah kelucuan dan kekacauan. Bagaimana tidak, kekritisannya bukan obyektif, berimbang, dan berdasar, namun hanya karena ketidaksukaan semata.
Sekali lagi, esensi demokrasi adalah siap kalah dan siap menang. Politisi handal akan mengritisi dengan data akurat, fakta, dan berani juga memuji, berbeda dengan politikus yang hanya mengatakan keburukan tanpa mau sama sekali memberikan apresiasi positif.
Apakah bangsa ini hanya diisi dengan barisan sakit hati yang tidak pernah melihat bangsa sendiri baik dan positif? Atau masih suka dengan sikap minder dan kalau asing selalu lebih baik terus menerus?
Jayalah Indonesia!
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI