Sama sekali tidak paham soal TA maka berkali-kali saya tanya rekan di K soal ini, baik inbox atau email. Lumayan jadi tahu paling tidak sedikit. Selamat untuk pemerintah yang berhasil menerapkan, di tengah segala pro dan kontranya, paling tidak sudah melangkah dengan konsekuensi yang tentunya sudah dipikirkan oleh pihak-pihak terkait.
Pemahaman saya, TA diberikan untuk pemilik kekayaan yang selama ini belum dibayarkan pajaknya, baik di luar negeri termasuk yang di dalam negeri. Menarik adalah ketika hari-hari terkhir ini banyak pengusaha dan penguasa yang berbangga hati menyatakan diri dengan gagah perkasa mengikuti program nasional dengan motivasi nasionalis.
Benarkah demikian? Pajak memang sebuah bentuk kesadaran, dan tidak mudah untuk sadar memberikan kewajiban itu untuk negara. Bagaimana tidak, ketika taat aturan saja susahnya minta ampun apalagi bayar.
Tanya saya, pertama, membaca artikel , semakin tahu dan mengerti, baiklah ada yang alpa, ketlingsut, atau belum dimasukkan dalam SPT. Jelas saja sebagai masyarakat biasa bisa saja keselip. Jika itu pengusaha, pejabat, apakah tidak memiliki staf keuangan yang profesional mengenai pajak? Ada unsur sengaja lebih besar.
Kedua, kemarin kalau tidak salah ada dewan, polisi, jaksa, dan banyak lagi, bahkan cawagub segala, jika bukan penyelenggara negara masih bisa dimaklumi, namanya juga usaha, kalau pejabat negara yang melaporkan harta kekayaannya, tiba-tiba ikut TA berarti selama ini ada yang tidak dilaporkan? Apakah ini sehat bagi pejabat negara?
Ketiga, jika TA oleh pejabat berarti selama ini sudah menerima gaji yang ia sendiri telah dikumpulkan dari pihak lain, sedangkan ia sendiri menyembunyikan kewajibannya? Apakah saya salah menilai ini?
Keempat, awal-awal itu yang saya pahami adalah WP yang memiliki harta di luar negeri, tentu sangat besar, bukan recehan semata. Artinya biar mereka tersentuh untuk mengembalikan uangnya ke dalam negeri. Itu sangat bisa diterima berarti bahwa uang mereka memang diparkir di sana, lha kalau sekarang pejabat negara? Bagaimana mereka bertanggung jawab atas sumpah mereka?
Tidak heran UU Pembuktian Terbalik seperti teriak-teriak di padang gurun. Ini baru membayarkan pajak atas kepemilikan saja sudah “mengelabui” apalagi harus membuktikan dari mana asal harta benda mereka. Membayarkan kewajiban saja susahnya minta ampun, apalagi harus menyatakan asal kekayaannya.
Tidak heran pula masih banyaknya koruptor yang nyaman saja, karena memberikan laporan saja tidak semestinya seperti itu. Berapa puluh tahun berarti ketidakadilan terjadi? sekali lagi jika pengusaha masih bisa diterima nalar, jika penyelenggara negara? Apa tidak malu dengan perilaku demikian?
Alasan dari penyelenggaran negara, penegak hukum, dan anggota dewan yang berdalih kelewat, keselip susah dimengerti, karena ada pelatihan mengisi SPT, bisa mengggundang ahli profesional, bisa juga meminta pihak yang kompeten untuk menghitungkan, mengisikan SPT.
Unsur kesengajaan jauh lebih besar. Jika demikian tidak heran target penerimaan pajak selalu meleset, pas target meleset kemudian menyalahkan presiden atau pemerintah. Eh ternyata semuanya terlibat.
Ini mungkin juga bagian budaya di mana ada uang berko, itu lampu sepeda zaman kuno, di mana usai panen harga beli dibuat berbeda agar uang yang diberikan kepada istri tidak seluruhnya. Alasannya uang yang masuk ke kas istri susah diminta lagi. Istilah lain duit lanang. Kebiasaan yang terus terjadi dan dipelihara.
Menciptakan kesadaran sebagai sebuah bangsa memang tidak mudah dan risiko yang besar, apalagi lebih besar orang selama ini nyaman menerima subsidi. Mental kere lebih besar, sehingga tidak merasa bersalah ketika memiliki tanggung jawab tidak melakukannya.
Hal yang sama di tingkt akar rumput adalah tidak malu meskipun kaya untuk menerima BLT, raskin, dan sejenisnya. Yang lain dapat aku juga harus dapat. Eh di level elit ternyata ada yang sama.
Revolusi mental sangat mendesak dilakukan dengan kecepatan tinggi karena mental anak bangsa yang memprihatinkan begini. Semua level melakukan "penggelapan" dan meminta fasiitas dengan tidak tahu kepantasan. Apakah berlebihan, jika mobil mewah menggunakan BBM subsidi, mampu minta jamkesmas, raskin, BLT dan sejenisnya.
Aneh dan lucu jika penegak hukum dengan gagah berphoto di depan media seperti pahlawan menang perang, padahal ngemplang. Selain sukses jumlah penerimaan negara juga jadi tahu kualitas anak bangsa yang sedang melaksanakan penyelenggaraan negara.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI