Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti Ahok versus M. Taufik di Pengadilan

6 September 2016   08:07 Diperbarui: 6 September 2016   08:16 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menanti Ahok versus M. Taufik di Pengadilan

Babak persidangan suap dengan terdakwa M. Sanusi adalah ide tim pembela terdakwa yang menghendaki adanya konfrontasi antara Ahok dan Taufik. Menarik karena rekam jejak berbalas pantun mereka selama ini ada antara yaitu media massa. Jika sidang, mereka akan bisa saling bantah dengan argumen masing-masing. Perseteruan panjang dari menjelang pilpres hingga kini yang tidak pernah usai, salah satu anggota dewan yang seperti Tom n Jerry,tidak pernah bisa akur sepertinya.

Selama ini ada media, di mana semua diwartakan seperti yang dikatakan, soal bantahan juga via media, dan hanya pembaca, penonton, dan pendengar diberi pilihan mau mendengarkan yang mana lebih mendekati kebenaran. Dua pendekatan kebenaran dalam satu kebenaran tentunya. Apalagi jika berkaitan dengan satu hal mengenai sebuah kasus misalnya.

Berbalas pantun tanpa ada wasit dan pemberi kesimpulan, sebagaimana hakim misalnya di pengadilan. Semua  menguap begitu saja, bisa saja Taufik benar, karena selama ini telah memiliki pengalaman jelek, semua dinilai salah. Sisi lain,  Ahok bisa saja salah, karena selama ini telah dikenal sebagai bersih sudah tentu lebih benar. Bisa saja benar bisa saja salah, rekam jejak hanya membantu bukan berarti menjadi kesimpulan akhir.

Selain rekam jejak, kepentingan yang melingkupi bisa berpengaruh. Bisa dilihat apa kepentingan masing-masing pihak.

Pertama, M. Taufik. Satu, jelas demi menyelamatkan adiknya dan dirinya sendiri dari jerat hukum dan bui tentunya. Membantu adiknya, bisa meringankan bukan membebaskan, susah karena OTT, bukan sembarangan, ada peristiwa nyata. Tentu hanya bisa membantu meringankan.

Dua, menyelamatkan dirinya. Dia sebagai pimpinan yang mengurus soal ini, tidak susah dia sendiri terjerat dengan kasus adiknya. Apa yang ia usahakan adalah menyelamatkan dirinya sendiri. Selama ini yang sudah terlihat adalah, ada perbedaan dari sudut Ahok, yang ia klaim sebagai benar dan Ahok menyatakan sebagai fitnah.

Tiga,namanya raperda bukan hanya sendirian, namun bersama-sama, dan dua sisi dengan eksekutif. Jika ketua kena kasus, apakah tidak juga menyeret yang lain-lainnya. Berarti ada gerbong koleganya di dewan yang perlu ia bela dan amankan.

Kedua, Ahok. Selama ini ia gubernur yang selalu gembar-gembor sebagai pejabat bersih, tidak heran ia berani menantang pembuktian terbalik, semua rapat ia unggah ke media sosial, membuat anggaran elektronik. Tentu ia akan mati-matian memperjuangkan harkat dan martabat yang telah ia bangun selama ini.

Melihat kedua sisi tersebut sebagai sama-sama kuat kepentingan dan pertahan dirinya, tentu menjadi penting kita bisa melihat apa yang memberikan gambaran siapa yang lebih mendekati kebenaran. Tentu bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada di dunia ini, masih mengandung kepentingan. Apa yang ada kecederungan dan lebih mendekati yang mana.

Kasus ini mencuat karena pengembang tentu takut dengan gubernur dan mau tidak mau ikut saja dengan tambahan kontribusi, mana ada yang rela keuntungannya itu terpotong. Mereka tidak rugi, namun bahwa keuntungan mereka menjadi rendah. Mereka itu mau tapi sebenarnya enggan. Nah di sinilah ada “permainan”, entah siapa yang memiliki inisiatif, apakah pengembang yang biasa main seperti itu atau dewan yang merasa bisa mengatur hal itu yang berinsiatif. Mengapa dewan? Jelas eksekutif tidak ada yang berani main-main. Jika berani mereka tentu telah menyatakan keberatan, lha nyatanya mereka tidak mengungkapkan itu secara langsung.

Birokrasi Jakarta sudah susah untuk ditembus. Berkali-kali ketahuan dengan adanya dana siluman yang sudah lampau. Tentu gubernur lebih waspada melihat segala kemungkinan. Birokrasi pun tentunya sekarang tidak lagi berani main-main, selain malu juga ancaman penjara. Sangat kecil kemungkinan lewat pihak eksekutif.

Legeslatif yang masih memiliki paradigma lama belum juga sadar. Kepentingan syahwat politik yang besar namun menemui tembok kuat semakin membuat mereka frustasi. Bagaimana tidak frustasi ketika sudah ketahuan berkali-kali bukannya main halus malah ceroboh sehingga tertangkap tangan, jelas saja kasusnya apa.

Suap yang tertangkap basah susah untuk menuduh eksekutif yang memainkan dan memberikan fasilitas untuk pihak-pihak tertentu. Apa bisa dikatakan jika  uang itu akan diberikan pula ke pihak sebelah, tentu sangat kecil kemungkinannya.

Persoalan politis yang dicoba dengan berbagai cara tidak menemui hasil, demokrasi jalanan diusahakan, lewat lembaga penegak hukum tidak tercapai, akhirya malah salah jalan dan blunder demi blunder sendiri. Coba jika dewan seluruh Indonesia kerja keras bukan demi kepentingan sendiri Indonesia sudah makmur, sayang hanya untuk diri dan kelompok.

Harapan untuk menyaksikan itu tampaknya masih lama karena hakim menghendaki itu di ujung persidangan. Jadwal lebih diikuti sebagai tahapan persidangan. Jika ini terjadi, tentu satu di antara keduanya pasti yang bersalah dan ada yang menghianati warga Jakarta. Siapakah di antara Ahok atau M. Taufik?

Mendesak adalah LHKPN bukan hanya anjuran tapi kewajiban dan ada ancaman pidana dan Pembuktian Terbalik, namun lagi-lagi apa ada yang mau mendukung hal ini. Bagaimana pejabat publik bisa memutarbalikkan fakta dengan gagah perkasa, tanpa ada hukuman termasuk hukuman sosial.

Salam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun