Mohon tunggu...
Paul A. Haning
Paul A. Haning Mohon Tunggu... -

Seorang Penulis Buku. terutama menyangkut sejarah dan budaya Rote Ndao. Telah menerbitkan 13 Judul buku yang ber-ISBN dan 4 judul bukunya yang tidak ber-ISBN, sekarang menunggu lagi 5 judul yang akan segera di terbitkan. Pendidikan : tamat dari SGBN Kupang tahun 1957, sekarang tinggal di Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asal Usul Nama Pulau Rote

16 Agustus 2015   18:18 Diperbarui: 17 Agustus 2015   09:35 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Dalam tulisan saya yang lalu saya katakan bahwa moyang orang Rote Ndao yang bernama Dae Dini berasal dari Seram dan menyinggahi Pulau Timor. Setelah lama bertualang di Pulau Timor, turunan moyang ini (Rote Nes, Lino Nes, Bara Nes, dan Keo Nes)  hijrah ke Pulau Rote. Waktu rombongan imigran ini menginjakkan kaki mereka di daratan Pulau Rote yaitu di Landu, daerah ini tampaknya sangat sunyi dan tenang, serta tidak ada manusia. Oleh karena itu mereka katakan “Meti Linok do Namo Nes” (pantai yang tenang dan pelabuhan yang tidak berpenghuni). Lalu pulau ini (Pulau Rote) disebut Nes do Linok (Tidak Berpenghuni dan Tenang). Arti kata nes adalah tidak berpenghuni dan arti kata linok adalah sunyi atau tenang. Dinamakan demikian oleh karena pada mula pertama Pulau Rote belum berpenghuni, masih sunyi dan senyap. Dinamakan juga Kale do Male. Dalam syair kata-kata dalam bahasa Rote bersifat paralelisme yang bersimbiosis. [ne(s)//lino(k) = kosong//tenang, meti//namo = surut//pasang, tenu//lolo = tenun//membentang benang, hatu(k)//neo(k) = gelap (baik siang atau malam)//gelap pada malam hari, atau kiu(k)//hatu(k) = baik siang atau malam)//pada malam hari, kale//male⃰ =.layu merunduk//layu mengecil. ⃰ male tidak bersimbiosis dengan lino melainkan dengan kale].

           Setelah adanya pendatang pemula itu, maka pulau yang tadinya kosong (nes), kini telah ada penghuni, lalu dinamakan “Nusa Dahena”, yang berarti Pulau Manusia. MenurutDR. J. J. Fox (1996), bahwa dalam salah satu peta dari awal abad ke-17, pulau ini masih disebut Noesa Dahena.

Setelah berlangsung lama, pulau ini dinamakan pula “Rote do Kale”. Kata rote berasal dari nama Rote Nes. Sedang kata kale berasal dari nama salah seorang moyang yang bernama Kale Lino; ia adalah anak dari Lino Nes (saudara dari Rote Nes). Rote Nes adalah sulung dari keempat bersaudara seperti tersebut di atas dan untuk menghormatinya ia dianggap sebagai penemu pulau ini. Disamping merupakan sulung, Rote Nes dan Kale Lino pun mempunyai peran yang besar dalam menata komunitas yang baru itu. Oleh karena itu mereka (komunitas kecil itu) memberi nama pulau ini “Rote do Kale”, diambil dari nama Rote Nes dan Kale Lino. Dalam bahasa paralel (bahasa ritual) pulau ini disebut Rote do Kale, sedang dalam sebutan sehari-hari disebut saja Rote. Kelompok genealogis (subetnis) yang tidak dapat melafalkan huruf/konsonan /‘r’/, menyebutnya “Lote”.

Menurut sumber lain bahwa kata rote (lote) berasal dari nama seorang moyang yang lain yaitu Rote (Lote) Pao anak dari Pao Balo, sedang kata kale berasal dari nama seorang moyang lainnya pula yaitu Kale Bola, anak dari Bola Lunggi.

Dalam silsilah orang Rote, ayah dan kakek dari Lote Pao yaitu Pao Balo dan Baloama Sina serta ayah dan kakek dari Kale Bola yaitu Bola Lunggi dan Lunggi Lain. Walaupun ayah dari Baloama Sina tidak diketahui secara jelas, namun ayah dari Lunggi Lain (bersaudara dengan Nara Lain, ke Thie - suku Meoleok) ialah Lai Langga, yaitu generasi ke-4 dari moyang Patola Bulan dan generasi ke-5 dari moyang Bula Kai. Bola Lunggi dilahirkan sekitar pertengahan abad ke-15 M.

          Ada pula dua sumber lainnya yang hampir sama. Sumber yang pertama, mengatakan bahwa nama pulau ini adalah nama yang diberikan oleh anggota rombongan armada Magelhains dengan kapal Victoria, yang dinakodai oleh Anthonio Pegaffeta (Portugis), yang dalam perjalanannya keliling dunia menyinggahi Pulau Timor (1522), dan juga menyinggahi Pulau Rote pada Februari 1522. Kapal ini berlabuh di pelabuhan Rote Dale (NamoRote).Anggota rombongan bertemu dengan seseorang yang bernama Rote. Mereka menanyakan nama pulau ini kepada oknum tersebut dengan cara isyarat. Oknum tersebut menyangka bahwa mereka menanyakan namanya, lalu dia menjawab, ”Rote”. Anggota rombongan pun menyangka bahwa kata yang diucapkan oknum itu yaitu rote, adalah nama pulau ini. Sebaliknya menurut Buku “Land Taal & Volkenkunde van Nederlands Indie (1854) bahwa anggota rombongan bukan menanyakan nama pulau tetapi menanyakan “bentuk” pulau (tanda kutip oleh saya). Saya yakin bahwa  nama pulau yang ditanyakan, bukan bentuk pulau. Kalau seorang baru datang ke suatu pulau atau negeri yang belum dia kenal nama pulau/negeri tersebut, maka biasanya nama pulau/negeri yang ditanyakan, bukan bentuknya. Kalau nama orang itu atau bentuk pulau yang ditanyakan, lalu diberi nama "Rote" oleh rombongan maka tidak mungkin. Karena pada tahun 1854 (abad ke-19) barulah buku tersebut di atas ditulis dan sesuai ruang dan waktu pasti isi buku itu belum diketahui oleh masyarakat Rote yang umumnya masih buta huruf,  pada hal nama Rote sudah timbul jauh sebelum adanya buku tersebut,  

         Selanjutnya Fox mengatakan bahwa di dalam peta Belanda, mula-mula pulau ini disebut Rotthe, yang oleh ahli peta kemudian salah mengutipnya menjadi Rotto. Dalam dokumen-dokumen VOC pada pertengahan abad ke-17, menyebut nama pulau ini “Rotti”, yang dieja dengan tiga cara yaitu Rotti, Rotty, dan Rotij. Sebutan resmi ini terus dipakai hingga abad ke-20 dan kemudian dimodifikasi menjadi Roti saja. Sebutan ini, sebenarnya timbul sebagai akibat “kesalahan lidah” orang Indonesia (Malay corruption) dari kata aslinya Rote sebagaimana dipakai pertama kali oleh komunitas orang Rote yang mula-mula dan/atau oleh orang-orang Portugis. Kini sebutan resmi pulau ini ada dua, yaitu Rote dan Roti. Dari dahulu sampai sekarang masyarakat Rote Ndao tetap menggunakan nama Rote. Setelah terbentuknya Kabupaten Rote- Ndao, tetap digunakan nama Rote, bukan Roti. Walaupun penduduk dari kelompok dialek Rote yang tidak dapat melafalkan abjad/konsonan /r/ menyebutnya Lote, namun dalam situasi resmi, mereka menyebutnya Rote, bukan Lote. Untuk diketahui bahwa selain dari orang Ndao, orang Rote yang terdiri dari 18 subetnis itu, terdapat 12 subetnis tidak dapat melafalkan konsonan /r/. Konsonan /r/, dilafal /l/. Karena itu mereka menyebut Rote, “Lote”.

            Kini Pulau Rote/Ndao disebut juga “Nusa Lontar”, karena terdapat banyak pohon lontar di daerah ini. Disebut juga “Negeri Tiilangga”. Tiilangga adalah topi khas orang Rote/Ndao. 

            Dari segi geografis, Rote Ndao terdiri dari dua wilayah, yaitu Dae Duluk (Tanah Timur = Rote Timur) dan Dae Muris (Tanah Barat = Rote Barat). Secara tradisi, penduduk/orang-orang Dae Duluk (Rote Timur) disebut “Lamak Anan” dan penduduk/orang-orang Dae Muris (Rote Barat) disebut “Hendak Anan”.
Penduduk Rote Timur disebut Lamak Anan (Anak-anak Lamak) karena moyang mereka bernama Lamaketu Liu Lai dan penduduk Rote Barat disebut Hendak Anan (Anak-anak Hendak) karena moyang mereka bernama Henda Oka Liu Lai. Kebetulan hobi kdua kelompok ini sebagai berikut : Penduduk Rote Timur suka makan lamak (belalang) oleh karena mereka disebut Anak Belalang dan karena penduduk Rote Barat suka makan biji pandan (hendak) maka mereka disebut Hendak Anan (Anak-anak Pandan).    

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun