Bagian 1 dari 6: Rahim Waktu di Tikar Lantai
Lantai ini dingin, tapi aku tak menggigil. Duduk lesehan dengan punggung bersandar pada dinding, aku membiarkan sunyi melingkupi tubuh seperti selimut halus dari udara malam. Tidak ada suara, hanya napas dan sesekali detak jam tua yang berdetak seakan malas.
Di sisi kananku, seekor kucing betina tua tidur. Bulu-bulunya menggumpal, warnanya tak bisa lagi ditebak, seperti kertas tua yang telah menguning oleh waktu dan cerita. Ia tak mengeong, tak minta dielus, hanya hadir dan tertidur, seolah percaya bahwa dunia tak akan menyakitinya malam ini.
Perutnya membuncit. Tapi bukan itu yang membuatku terdiam. Ada sesuatu dalam perut itu, bukan sekadar janin, tapi waktu. Sebuah keheningan yang tumbuh, sebuah detik-detik yang disimpan dalam rahim yang tak pernah protes. Aku melihatnya, dan rasanya seperti melihat dunia melipat dirinya ke dalam seekor makhluk yang sudah renta, namun tak pernah lelah memberi hidup.
Di matanya yang kadang mengintip dari kelopak yang setengah tertutup, ada riwayat panjang tentang hidup. Ia tak butuh kata-kata. Hanya napas dan tidur, dan hadir sepenuh sunyi.
Aku duduk diam, tak mengeluh, tak mengelak. Malam ini, aku belajar dari makhluk yang lusuh tapi lapang: bahwa waktu bisa bersarang di mana saja, bahkan di perut kucing tua yang tak lagi dikejar dunia.
Kontemplasi: Kadang, makna hidup tak datang dari suara-suara besar. Ia datang dari makhluk-makhluk kecil yang tidur di sisi kita, membawa rahasia waktu dalam keheningan. Kita hanya perlu duduk, diam, dan percaya bahwa lantai tempat kita bersandar, bisa jadi altar kecil untuk menyadari bahwa hidup terus berjalan, tanpa perlu terburu-buru.
oooOOOooo
Bagian 2 dari 6: Lonceng yang Berkisah
Ia bukan kucing biasa. Ada sesuatu dalam cara ia merebahkan tubuh, dalam cara perutnya naik turun, seperti bandul waktu yang tidak pernah berhenti berdetak meski jam dinding sudah lama rusak. Detak itu, yang hanya bisa kurasakan jika duduk cukup dekat, cukup hening, mengingatkanku pada lonceng tua di desa, yang setiap subuh berbunyi tanpa pernah keliru, seolah mengenal waktu lebih baik daripada manusia.
Nyai, begitu akhirnya aku memanggilnya dalam batin. Nyai tidur, tapi tubuhnya berbicara dalam bahasa yang tak bisa diterjemahkan, hanya bisa dirasakan. Perutnya buncit bukan karena kelimpahan makanan, tapi karena keajaiban yang sedang dirajut di dalamnya. Sebuah kehidupan baru yang disulam dari benang-benang napas dan sabar.