Tengku Nasyaruddin Effendy atau lebih dikenal dengan nama Tenas Effendy (9 November 1936 – 28 Februari 2015) adalah budayawan dan sastrawan dari Riau. Sebagai seorang sastrawan, Effendy telah banyak membuat makalah, baik untuk simposium, lokakarya, diskusi, maupun seminar, yang berhubungan dengan Melayu, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, sampai Madagaskar. Effendy sangat menjunjung tinggi dan amat peduli dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan Melayu. Tenas Effendy pertama kali menulis tentang kebudayaan pada tahun 1952. Pada saat itu ia masih belajar di sebuah perguruan di Bengkalis. Ketertarikan dan minatnya terhadap kebudayaan Melayu tidak terlepas dari keluarganya yang mencintai adat istiadat Melayu, neneknya adalah seorang pembaca syair yang terkenal pada masanya. Selain pandai membaca syair, neneknya juga pandai dalam menenun, menekat pakaian-pakaian tradisional kerajaan Melayu di Pelalawan.
Sejak masa kanak-kanak Tenas Effendy sudah akrab dengan adat istiadat Melayu, sudah menjalani adab dan etika Melayu dalam kehidupan sehari-hari, maka ada semacam kekhawatiran ketika ia melihat, begitu banyak nilai luhur tata pergaulan Melayu sudah tidak lagi diperhatikan masyarakat. Menyadari hal tersebut, ia berusaha mencatat, mengumpulkan kembali, menghimpun melakukan kajian-kajian dan membuat penelitian tentang kebudayaan Melayu dalam bentuk apa saja.Menurut Tenas Effendy Bangunan tradisional yang disebut juga "seni bina" Melayu, terutama untuk rumah kediaman, pada hakekatnya amat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu. Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu menyebutkan rumah sebagai "cahaya hidup di bumi, tempat beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum kerabat, tempat singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya".
 ltulah sebabnya rumah dikatakan "mustahak", dibangun dengan berbagai pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikian diyakini bangunan akan benar-benar memberikan kesempurnaan lahir dan batin bagi penghuni rumah dan bagi masyarakat sekitarnya.Lambang-lambang yang berkaitan dengan bangunan tradisional Melayu bukan saja terdapat pada bagian-bagian bangunan, tetapi juga dalam bentuk berbagai upacara, bahan bangunan dan namanya, serta letak bangunan. Oleh karena perjalanan masa, lambang-lambang tersebut tidak mudah dilacak lagi. Berbagai masalah kebudayaan harus turut diperhitungkan, karena cukup banyak nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam suatu masyarakat telah terabaikan dan punah karena pergeseran dan perubahan nilai budaya yang terus terjadi.
Nilai budaya Melayu Riau umumnya berpunca dari tiga aspek dominan, yaitu agama Islam, adat Melayu, dan tradisi Melayu. Adat dan tradisi yang kian melonggar berangsur-angsur menyebabkan nilai-nilai asli semakin kabur dan kehilangan warna.Dalam seni bangunan tradisional, pergeseran dan perubahan sangat jelas terlihat. Di seluruh Riau, bangunan tradisional semakin sedikit, sedangkan lambang-lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Musyawarah, upacara, dan kegotong-royongan dalam pelaksanaan pendirian bangunan sudah sangat diabaikan. Tempat bangunan pun tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat. Bentuk dan ukuran rumah telah digantikan oleh gaya arsitektur masa kini. Menurut tradisi, bahan bangunan harus dipilih dengan cara tertentu, namun kini bahan bangunan tergantung dari pasaran. Begitu pula dengan ragam hias dan lain sebagainya.
Tenas Effendy juga melakukan penelitian kebudayaan Melayu, ia pun mendirikan Tenas Effendy Foundation, sebuah lembaga yang berusaha memberi bantuan pada para peneliti atau siapa pun yang berminat melakukan penelitian terhadap berbagai aspek kebudayaan Melayu. Tenas tidak hanya sekadar ditempatkan sebagai budayawan yang mumpuni, tokoh adat yang kharismatik, tetapi ia juga kerap diundang oleh pemda terkait kebijakan yang akan diambil. Tidak jarang pula Tenas harus menyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatan. Sebagai tokoh masyarakat, Pak Tenas terlibat pula dalam berbagai aktivitas organisasi kemasyarakatan, baik sebagai ketua, penasihat, maupun pengurus. Misalnya, Pak Tenas pernah menjadi Ketua Lembaga Adat Melayu Riau pada tahun 2000 hingga 2005, Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Pelalawan pada tahun 2000 hingga 2015, Pembina Lembaga Adat Petalangan pada tahun 1982 hingga 2015, dan Penasihat Paguyuban Masyarakat Riau pada tahun 2001 hingga 2015.
Bangunan tradisional Melayu adalah suatu bangunan yang utuh, yang dapat dijadikan sebagai tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, dan tempat berlindung siapa saja yang memerlukannya. Menurut tradisi, orang Melayu Riau percaya pada empat cahaya di bumi yang terdiri dari rumah tangga, ladang bertumpuk, beras padi, dan anak-anak muda. Rumah tangga sebagai cahaya pertama hendaknya dipelihara sebaik-baiknya dengan dipagari adat atau tradisi.Kandungan makna dan fungsi bangunan dalam kehidupan orang Melayu sangat luas, sehingga menjadi kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup. Oleh karena itu bangunan hendaknya didirikan dengan tata-cara yang sesuai dengan ketentuan adat, sehingga bangunan itu dapat disebut "rumah sebenar rumah".
Bentuk bangunan tradisional Melayu biasanya ditentukan oleh bentuk atapnya, seperti Atap Belah Bubung, Atap Limas, dan Atap Lontik. Rumah dengan perabung lurus pada tengah puncak atap, dengan kedua bagian sisi atapnya curam ke bawah seperti huruf V terbalik disebut Atap Belah Bubung, Bubung Melayu, atau Rabung Melayu. Jika atapnya curam sekali disebut Lipat Pandan. Sebaliknya, jika atapnya mendatar disebut Lipat Kajang. Jika pada bagian bawah atap ditambah atap lain, disebut Atap Labu, Atap Layar, Atap Bersayap, atau Atap Bertinggam.
Nama              : Patricia Endah Septiana
NIM/Kelas         : 1905156212 / 5.B