Akhir dari Alam : Antroposen dan Krisis Keberlanjutan Manusia
Mengutip Derek Lynch dalam Sciencealert edisi 21 Oktober 2023, muncul pertanyaan yang mengguncang kesadaran ekologis kita : "Apakah sekarang saatnya memperbarui ungkapan 'Tuhan sudah mati, Marx sudah mati, dan saya sendiri merasa tidak enak badan' dengan menambahkan 'Alam sudah mati'?" Pertanyaan ini bukan sekadar permainan kata, melainkan refleksi mendalam atas hubungan manusia dengan planet yang menopang kehidupannya. Alam, yang dahulu dipandang sakral dan terpisah dari manusia, kini menjadi korban tangan manusia sendiri - manusia yang memproklamasikan diri sebagai pusat segalanya.
Kita telah memasuki era Antroposen, sebuah masa ketika aktivitas manusia menjadi kekuatan dominan yang mengubah wajah bumi. Atmosfer, hidrosfer, dan biosfer kini berada di bawah pengaruh tindakan manusia : dari penebangan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim global. Seperti yang diingatkan oleh ahli biologi E.O. Wilson, manusia telah "meremehkan bentuk kehidupan yang lebih rendah", seolah-olah semua makhluk lain hanyalah alat pelengkap dari drama besar peradaban manusia. Dalam pandangan ini, alam bukan lagi rekan hidup, tetapi objek eksploitasi.
Ironisnya, dominasi manusia terhadap alam telah menciptakan paradoks yang mematikan : semakin manusia berkuasa, semakin rapuh bumi menjadi. Ekosistem yang dulunya seimbang kini terperangkap dalam ketidakseimbangan yang akut. Redistribusi spesies kolonial, hilangnya habitat, polusi plastik dan bahan kimia, serta eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam telah mendorong banyak ekosistem melampaui titik kritisnya. Tak ada wilayah di planet ini yang bebas dari jejak manusia - bahkan dasar laut terdalam dan puncak gunung tertinggi telah terkontaminasi oleh mikroplastik.
Krisis ini semakin terlihat jelas ketika pandemi COVID-19 menghantam dunia. Kejadian zoonosis terbalik - ketika manusia menularkan penyakit kepada hewan - menjadi simbol betapa rapuhnya batas antara dunia manusia dan dunia non-manusia. Kita hidup dalam satu biosfer yang saling terkait, namun kita memperlakukan alam seolah sesuatu yang dapat dikorbankan demi kemajuan ekonomi.
Situasi serupa dapat kita saksikan di tanah air. Alam Indonesia yang dahulu digambarkan sebagai "zamrud khatulistiwa" kini mulai kehilangan kilauannya. Di Sulawesi dan Halmahera, penambangan nikel demi industri baterai kendaraan listrik telah menggerus hutan hujan tropis dan mencemari sungai-sungai. Di Sumatera dan Papua, perkebunan sawit telah meluluhlantakkan habitat alami, menyingkirkan satwa liar dan menimbulkan konflik agraria dengan masyarakat adat. Di kawasan Danau Toba - situs geologis purba yang menjadi saksi sejarah umat manusia - tanah-tanah ulayat kini tergadai kepada perusahaan pulp yang menanam Eucalyptus untuk bahan baku kertas.
Kita menyaksikan bagaimana narasi pembangunan sering menyingkirkan narasi keberlanjutan. Demi pertumbuhan ekonomi, manusia menukar hutan dengan kebun monokultur, gunung dengan tambang dan sungai dengan limbah industri. Namun, ketika banjir, kekeringan dan krisis pangan melanda, kita baru menyadari yang kita lukai bukan sekadar lingkungan, melainkan tubuh kita sendiri. Alam tidak pernah benar-benar mati; ia hanya menjerit dalam bahasa yang sulit kita dengar - melalui badai, longsor dan perubahan iklim yang ekstrem.
Proyek Half-Earth yang dipelopori E.O. Wilson mengajukan gagasan radikal : hanya dengan melindungi 50 persen permukaan bumi, kita dapat melestarikan 85 persen spesies yang ada. Namun gagasan ini menimbulkan dilema baru. Siapa yang berhak menentukan 50 persen bumi itu? Apakah berarti manusia harus terusir dari separuh dunia? Banyak kawasan konservasi justru dibangun dengan menggusur masyarakat adat yang selama berabad-abad hidup harmonis dengan alamnya. Di sinilah paradoks modernitas mencapai puncaknya : manusia yang mengaku melestarikan alam, justru melanjutkan kolonialisme dalam bentuk baru - kolonialisme ekologis.
Padahal, masyarakat adat telah lama menunjukkan cara lain dalam berhubungan dengan alam. Mereka tidak melihat hutan sebagai sumberdaya, melainkan sebagai saudara, guru dan tempat suci. Seorang pemuda Mohawk dalam konferensi Regenerasi Kanada menggambarkan komunitasnya bukan sebagai sekelompok manusia, melainkan sekelompok pohon birch di tanah leluhurnya. Pandangan ini selaras dengan gagasan filsuf Sylvia Wynter, yang menolak konsep "Manusia" dalam pengertian rasional Barat yang memisahkan diri dari alam. Dalam paradigma masyarakat adat, manusia hanyalah satu bagian dari jaring kehidupan yang luas.
Sejarawan Dipesh Chakrabarty dalam makalahnya Climate of History : Four Theses menulis bahwa tembok antara sejarah manusia dan sejarah alam kini telah runtuh. Perjuangan manusia untuk kebebasan, kemajuan dan kesejahteraan kini tak bisa dipisahkan dari perjuangan biosfer untuk bertahan hidup. Krisis iklim bukan lagi isu lingkungan, melainkan isu eksistensial - tentang apakah manusia dapat terus menjadi bagian dari bumi atau menjadi penyebab kehancurannya sendiri.