Haminjon/Kemenyan : Aroma Wangi di Balik Misteri
Kemenyan - atau Haminjon dalam bahasa Batak - bukan sekadar barang dagangan tradisional yang diasosiasikan dengan asap-asap ritual atau citra mistik masa silam. Di balik kepulan asap yang kerap kita lihat di acara adat, wangi Haminjon ternyata telah menjelma menjadi bahan dasar dari parfum-parfum kelas dunia, menandingi bahkan menyandingkan dirinya dengan emas hijau seperti nilam (patchouli) dan gaharu. Namun ironisnya, di negeri asalnya, komoditas ini masih diperlakukan sebagai hasil hutan biasa - diekspor mentah, dijual di bawah meja, dan dikendalikan oleh jaringan tak terlihat yang lebih mirip jaringan feodal ketimbang industri modern.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini membuka kembali diskursus soal kemenyan sebagai salah satu sumber kekayaan alam Indonesia yang seharusnya bisa memberi nilai tambah tinggi melalui hilirisasi. Dalam pidatonya di hadapan para calon pemimpin nasional, Gibran secara lantang menyuarakan kemenyan tidak lagi bisa dilihat sebagai komoditas mistik yang tertinggal di masa lalu. Ia adalah liquid gold (emas cair) - sebagaimana patchouli dan benzoin yang jadi bahan baku parfum Louis Vuitton, Dior, atau Tom Ford.
Namun yang jadi soal bukan hanya soal pengetahuan publik yang terbatas, melainkan jaringan distribusi dan produksi yang penuh misteri. Dimana sebenarnya pusat kontrol komoditas Haminjon ini. Siapa yang mendapatkan keuntungan paling besar. Dan kenapa sampai hari ini masyarakat - termasuk negara - seakan hanya jadi penonton dari hilangnya potensi ekonomi luarbiasa ini.
Aroma Global, Asal Lokal
Peneliti dari BRIN, Andria Agusta, menjelaskan kemenyan berasal dari pohon Styrax benzoin dan Styrax sumatrana, dua spesies endemik yang tumbuh di daerah-daerah tertentu Indonesia, terutama wilayah Tapanuli, Sumatera Utara. Getah dari pohon ini dikumpulkan melalui metode penyadapan dan diolah menjadi resin yang disebut benzoin, bahan dasar parfum, kosmetik, aromaterapi, bahkan obat.
Yang menarik, kemenyan Indonesia telah sejak lama dikenal dalam dunia perdagangan global dengan nama "Sumatra Benzoin". Bersama dengan patchouli dari Aceh, keduanya masuk dalam daftar bahan paling dicari di pasar parfum dunia. Namun sementara India, Madagaskar, atau bahkan negara-negara Afrika mulai membuat pabrik ekstraksi dan rumah produksi parfum mereka sendiri, Indonesia masih berkutat di titik paling rendah: sebagai eksportir bahan mentah.
Padahal, menurut perfumer Indonesia, seperti Divanda Gitadesiani, resin benzoin dari Indonesia punya kualitas khas : aroma manis, vanila, hangat, dan sensual yang sangat disukai oleh rumah parfum high-end. Bahkan, patchouli dari Aceh seringkali dianggap sebagai benchmark kualitas patchouli dunia.
Pola Distribusi yang Tidak Transparan
Salah satu misteri besar yang mengiringi perjalanan Haminjon dari hutan di tanah Batak ke pasar dunia adalah struktur distribusinya yang masih sangat tradisional, bahkan bisa dibilang tertutup. Para penyadap di desa-desa sekitar Tapanuli hanya mengenal pengepul di kecamatan. Dari sana, Haminjon dikirim ke pusat transit seperti Siborong-borong, lalu diteruskan ke pedagang besar.