Salah satu kelemahan utama dari berbagai kebijakan pembangunan di Sukabumi adalah minimnya perhatian terhadap warisan sejarah dan arsitektur kolonial. Gedung Capitol di pusat kota telah berubah bentuk drastis, begitu pula Kantor Pos tua dan bangunan-bangunan penting di kawasan Cikole, Gunung Parang, dan Bhayangkara. Bahkan renovasi kapel Belanda yang kini menjadi Gereja HKBP di Jembatan Cipelang pun tak mencerminkan upaya pelestarian yang baik.
Pemkot Sukabumi seharusnya belajar dari kota-kota seperti Bandung, Semarang, atau Malang, yang dengan serius melakukan konservasi bangunan bersejarah. Literasi terhadap sejarah kolonial harus ditingkatkan, baik melalui kurikulum lokal, pameran, maupun program wisata edukatif.
Suara Masyarakat : Antara Optimisme dan Skeptisisme
Diskusi publik di kalangan warga Kota Sukabumi mencerminkan keragaman respons terhadap rencana ini. Dalam perbincangan informal dengan sobat jadul penulis antara lain Dicky Djoko Poerwanto dan Darmafian Marpaung, muncul suara skeptis. Mereka meragukan keseriusan Walikota Zaki dalam merealisasikan proyek ini pasca Pilkada, mengingat prioritas lain yang lebih mendesak.
Sebagian masyarakat melihat pemindahan perkantoran dan stasiun hanyalah bentuk gimmick politik atau proyek ambisius yang tidak memperhatikan akar sejarah kota. Mereka menilai, seharusnya stasiun Cisaat dikembangkan terlebih dahulu untuk mengakomodasi lonjakan kebutuhan transportasi, sedangkan stasiun kota dipertahankan dan direvitalisasi.
Alternatif Strategis dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis terurai di atas, beberapa rekomendasi strategis dapat diajukan.
Revitalisasi Kota Lama
Lakukan audit bangunan bersejarah; gandeng arsitek konservasi untuk merancang masterplan kota tua; kembangkan konsep heritage trail untuk wisata sejarah.