Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Brigadir J. yang Berputar-putar Bak Roller-Coaster

26 Juli 2022   14:25 Diperbarui: 26 Juli 2022   14:30 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jasad Brigadir J, AKP Rita Julana dan Ferdi Sambo. Foto : bandarlampungpost.com

Mahfud juga diharapkan bisa meminta Kapolri untuk menghentikan semua pernyataan dari polisi yang menarasikan bahwa meninggalnya Brigadir J diawali oleh adanya tindakan pelecehan. Menurut Komnas HAM, narasi tersebut harus dihentikan sampai selesainya pengusutan yang dilakukan oleh tim khusus yang dibentuk Kapolri dan penyidikan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri.

Harapan terakhir Komnas HAM, Mahfud Md bisa meminta Kapolri dan kepolisian agar memberi jaminan rasa aman bagi keluarga korban Brigadir J.

Kehadiran Komnas HAM kali ini sungguh menenangkan. Pernyataannya yang blak-blakan setidaknya telah mengungkapkan bagaimana rakyat yang sudah lama haus akan keadilan ini tak sudi lagi mendengar pernyataan asal-asalan apalagi datang dari Polri yang merupakan ujung tombak pertama penegakan hukum yang berkeadilan di negeri ini.

Banyak kasus hukum yang gede-gede sudah selesai. Tapi kasus yang seolah adil penyelesaiannya itu ternyata tidak adil di relung terdalam masyarakat. Kita ambil contoh kasus penistaan yang didakwakan kepada Muhammad Kace. Kace dijebloskan ke penjara 10 tahun hanya karena tafsir hukum yang gegabah yang menafikan keadilan sesuai dinamika zaman. Kace hanya menarasikan tentang Yesus dalam bahasa Arab. Apa itu salah. Sedangkan manusia Arab di timur tengah sana yang percaya Yesus berdoa dalam bahasa Arab. Mana yang benar. Masak keadilan di negeri yang sudah merdeka 76 tahun ini tak bisa membedakan keadilan dalam konteks Kace dalam keberagaman masyarakat kita.

Contoh lain lagi yang juga sangat menyakitkan adalah korupsi dan koruptor besar. Banyak terjadi seorang koruptor kakap yang telah menggaruk uang rakyat milyaran rupiah, hanya divonis 2-3 tahun penjara, sementara uang rakyat yang tergaruk olehnya boro-boro dikembalikan ke kas negara. Lihat yang tetap imajiner hingga detik ini, yi harta karun Soeharto yang tersimpan di Bahama dan Swiss yang belum juga jelas juntrungannya kapan dikembalikan ke kas negara. Dalam beberapa kasus seolah ada pengembalian, yi tanah, tapi tanah taipan hitam yang disita itu nilainya boleh dibilang hanya cukup untuk membeli beberapa unit rumah sedikit di atas sederhana di pinggiran Jakarta. Di bawah 10 milyar rupiahlah. O God.

Tak heran, kita seakan tidak bisa lagi memprediksi sampai kapan kasus ketidakadilan hukum ini, besar maupun kecil, akan berakhir. Maka sudah saatnya dikemukakan disini satu istilah untuk kehausan masyarakat akan keadilan itu sebagai "ketidakadilan struktural."

Ini sebetulnya bukan fenomena baru, tapi telah dikupas oleh para akhli  sejak awal 1980-an sebagai kemiskinan struktural yang tak mesti masalah ekonomi, tapi juga soal keadilan hukum secara struktural. Ingat kasus buruh Marsinah yang dibunuh secara sadis karena menyuarakan keadilan bagi kaum kurcaci di Jatim.

Kini dalam rangka menyongsong G20 di Bali pada Nopember 2022 yad, di Danau Toba malah sudah diselenggarakan temu wicara kaum perempuan tentang apa dan bagaimana pemikiran kalangan perempuan dunia, termasuk Indonesia, dalam menyuarakan kepentingannya di forum G20 itu nanti.

Di forum yang dipenuhi perempuan hebat ini lagi-lagi kita temukan ada sebuah kejanggalan dimana thema umumnya adalah soal perempuan dan keperempuanan dengan segala haknya, tapi mereka lupa bahwa di kaldera Toba sendiri ada yang dilupakan yi kemiskinan struktural karena adanya kebijakan yang menggerus hak-hak rakyat atas tanahnya sendiri seperti kasus TPL atau Toba Pulp Lestari yang telah banyak memakan tanah rakyat dengan menghancurkan tanaman haminjon atau kemenyan atau styrax sumatrana hanya karena pembuatan pulp atau bubur kertas, belum lagi pengusiran rakyat yang berladang ikan di Danau Toba tanpa alternatif mau dikemanakan mereka. 

Dan semua itu tak lepas dari gender di tanah Batak sendiri dimana kesetaraan gender itu sudah lama ada. Kita lihat mayoritas yang menjadi korban disini adalah kaum perempuan Toba. Perempuan Toba sudah lama kesohor sebagai pekerja keras untuk hari depan keluarganya dan hari depan bangsanya sendiri, sebagaimana yang disenandungkan Nahum Situmorang di masa lalu.

Di bagian Brigadir J, kita jadi tahu persis bahwa rakyat tak lagi sudi melihat adegan sinetron untuk menutupi kalangan atas ntah itu militer, sipil, apalagilah polisi yang semua orang tahu bahwa ia adalah ujung tombak penegakan hukum dan keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun