Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Adat Istiadat di Tengah Kuali Adukan Budaya Zaman Now

10 Desember 2021   12:43 Diperbarui: 10 Desember 2021   13:04 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tor Tor Marhusip. Foto : Cecep Rustandi, flickr.com

Adat Istiadat Di Tengah Kuali Adukan Budaya Zaman Now

Kebudayaan adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti. Karenanya dia bukan lagi kata benda melainkan kata kerja. Diri kita ada disitu ibarat sebuah atom yang bersatu dengan atom-atom lain dalam sebuah komunitas dan bangsa.

Orang Amerika yang melting pot sekalipun, termasuk Indonesia yang sama sebangun dengan Amerika soal perbangsaan. Atom-atom itu menyatu dalam sebuah proses panjang ke depan dengan sosok sekarang yang bisa saja seminggu lagi, sebulan lagi atau tahun depan sudah berubah sesuai dinamika zaman dengan segala persoalan dan tantangan yang dihadapi.

Unsur-unsur kebudayaan seperti Pengetahuan, Organisasi Sosial, Peralatan Hidup dan Teknologi, Ekonomi, Religi dan Kesenian. Itu banyak itemnya. Di bagian item ini, sekalipun para Antropolog Budaya mengatakan itu tak mudah berubah, tapi bagaimanapun item-item itu tetap beradaptasi dengan dimana dan kemana dia berproses. Sebagai contoh adat perkawinan. Ini item vip yang diagungkan dalam kebudayaan apapun. Karena berhubungan dengan fungsi reproduksi manusia dalam perkembangannya di muka bumi ini, ntah itu di belahan kutub yang dingin minta ampun atau di padang pasir gersang kerontang nan puanass seperti gurun Sahara dan gurun Arab. Kita yang hidup di daerah berhutan tropis seperti ini saja sudah belingsatan kalau bermukim katakanlah di wilayah Bromo yang berpasir-pasir seperti di gurun Arab itu. Tapi kita pun nggak bisa berleha-leha hidup di hutan belantara yang penuh kanopi seperti Papua, Sumatera dan Kalimantan. Salah sedikit dalam beradaptasi kita bisa disambar ular berbisa atau aneka binatang carnivora lainnya. So, kita harus adaptif dalam sikon alam bagaimanapun. Dan dalam keseimbangan baru yang kita dapatkan disitu, kitapun secara bertahap membangun tatanan sosial yang sesuai dengan suasana, termasuk tentu bagian mitis dan spiritual diri kita. Adat perkawinan pun berkembang sesuai suasana hati dan lingkungan sekitar yang mengadaptasi segala kedirian kita.

Dalam konteks tsb banyak sudah kita kenal adat perkawinan dalam aneka suku bangsa di Indonesia. Dan tak boleh kita katakan adat di sono primitif ketimbang adat di sini. Itu bukan sebuah penjelasan, tapi sebuah pelecehan, karena setiap anak bangsa mempunyai tatanan sosialnya masing-masing. Tatanan sosial adalah konsep fundamental dalam sosiologi yang mengacu pada cara berbagai komponen masyarakat bekerjasama untuk mempertahankan status quo. Ini termasuk struktur dan institusi sosial, hubungan sosial, interaksi dan perilaku sosial, fitur budaya seperti norma, kepercayaan dan nilai.

Dalam persinggahan budaya di Jabodetabek ini yang jelas-jelas adalah melting pot Indonesia, tak ubahnya New York di Amerika dan Tokyo di Jepang, Dahi saya pun agak berkerut setelah melihat kenyataan adat perkawinan yang sudah cukup lama diusung dari habitatnya masing-masing. Saya yang berkebetulan Batak dari sononya hanya bisa manggu-manggut o ngono toh atau o songoni do atau o begitu ya.

Orang Batak berangkat dari budaya agraris pegunungan nan dingin dan separuhnya lagi terinspirasi dari lingkungan Danau Toba yang besar minta ampun bak lautan. Tak heran kalau Nahum Situmorang menyenandungkan Toba dalam gubahan legendarisnya Pulau Samosir.

"Pulo Samosir do, haroroan hu samosir do, ido asal hu sai tong ingoton hu, saleleng ngolukku hupuji ho" (Pulau Samosir, asal-usulku dari Samosir, Itulah asalku dan akan selalu kuingat, sepanjang hidupku engkau kupuji).

"Pardekkean hu haumakki, gok disi hassang nang eme nang bawang, rarat do pinahan di doloki" (Tambak dan ladangku, banyak di situ kacang, padi, juga bawang, Banyak juga hewan ternak menyebar di bukit-bukit).

Tu natinombur masihol ho, dekke ni ura dohot namargota, di pulo samosir do dapot ho (Aku selalu merindukan ikan tinombur (semacam ikan pepes khas Batak), ikan mas na niura (diasami doang keq makanan Jepang) atau daging yang dimasak bersama darah ternak ybs (seperti di Jawa yi  potongan darah hewan yang dibekukan lalu digoreng. Kalau di tanah Batak kebalikannya yi bagian kuah kental dari masakan daging tsb). Di Pulau Samosir itu semua akan engkau dapatkan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun