Romo Mangunwijaya meskipun tidak pernah menjadi anggota parlemen adalah politikus yang berhahekat negarawan. Dia memasuki arena politik Indonesia melalui pintu pilar keempat demokrasi: pers. Tangannya sedemikian bijak bestari santun menulis kolom di berbagai media massa nasional dan daerah, bahkan berkenan, tidak merasa turun gengsi menyumbang tulisan untuk buletin kampus yang dikelola mahasiswa. Dia mengurai pemikirannya di sejumlah buku yang menjadi rujukan pemangku kepentingan. Tidak cuma pemikiran, aktivitasnya langsung di lapangan ikut mempengaruhi pengambilan kebijakan publik.
Tulisan di seantero suratkabar dan buku menjadi loudspeaker untuk problema-problema dan peristiwa-peristiwa di tengah masyarakat yang tadinya masih sayup-sayup di telinga pemimpin negeri. Jatidiri kalimat-kalimatnya berkharisma memberi kritik santun dan solusi rasional.
Kharisma yang ada dalam tulisan-tulisan Romo Mangun merupakan sinerji antara martabat cendikiawan dan kharisma guru moral, guru bangsa. Perpolitikan yang dilakukan Mangunwijaya sebagai rohaniawan adalah politik kesejahteraan umum, keberpihakan kepada rakyat, dan pengangkatan harkat dan martabat manusia. Sebab dengan itu ia melawan moral kekuasaan dengan segala praktik menghalalkan segala cara.
Romo Mangun mengatakan, “Seandainya saya menjadi orang besar untuk menanggulangi kondisi kemiskinan sekarang ini dengan cara nomor satu yang sudah dicantumkan dalam mukadimah UUD 1945, yaitu mencerdaskan bangsa. Upaya mencerdaskan bangsa bukan berarti menjadikan orang pinter sebab nanti akan minteri. Namun solidaritas bangsa dengan memberi argumentasi-argumentasi yang sungguh-sungguh modern yang mampu melihat realitas bukan melihat slogan-slogan.”
Dalam masyarakat Jawa mengenal istilah minteri yang berasal dari kata pinter (pandai) dalam artian yang negatif yaitu menipu. Maka dalam kalangan rakyat, orang yang pandai atau pinter diidentifikasikan dengan penipu, sebab orang pandai dan pinter menurut akar kebudayaan Jawa cenderung minteri.
Kehadiran pemikiran dan hati nurani figur menyejukkan seperti Romo Mangun semakin diperlukan di tengah kondisi ketika orang makin menyadari hak asasi manusia. Di tengah dinamika politik dan perkembangan ekonomi, sering harkat kemanusiaan diabaikan. Manusia cuma diposisikan sebagai angka atau dikategorikan dalam statistik, dilupakan darah dagingnya, apalagi rohnya. Dalam kondisi sedemikian inilah, kehadiran pemerhati kemanusiaan, siapa pun dia, sangat diharapkan perannya.
Penyair prosa liris Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi A. G, pada tahun 1980-an merumuskan dengan pas: “Seandainya Indonesia memiliki 100 Mangunwijaya, kaum terlantar akan lebih diperhatikan, hak-hak asasi manusia lebih banyak pembelanya.”
Mangunwijaya tidak asing dengan politik. Ayahandanya merupakan ketua DPRD Magelang di zaman revolusiSutan Syahrir sebagai role model
Dalam orasi ilmiah berjudul Manusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini dan Hari Mendatang, Mangunwijaya mengatakan, Sjahrir tidak menyandarkan pikiran dan langkah-langkahnya pada dalil-dalil kekuasaan atau kehausan “untuk memenangkan kelereng sebanyak mungkin (pepatah Belanda). Tetapi dia justru lebih memperhatikan “permainan kelereng itu sendiri”.
Menurut Mangunwijaya, menang atau kalah bukan soal besar bagi seorang negarawan, apalagi untung rugi bagi diri pribadi. Keprihatinan negarawan adalah kepentingan dan kesejahteraan seluruh negara, seluruh masyarakat.
“Politikus memperjuangkan kemenangan pemilu berikutnya, dan bagaimana tampuk kekuasaan dan peti harta dia kuasai. Negarawan memikirkan proses berbangsa dalam jangka panjang, teristimewa dalam rangkaiannya dengan hak-hak azasi semua warga negara. Pendeknya, negarawan tidak hanya melihat hasil jadinya nanti, tetapi juga prosesnya, cara orang memenuhi aturan permainan yang jujur.”