Mohon tunggu...
Parfi Khadiyanto
Parfi Khadiyanto Mohon Tunggu... Dosen - pecinta lingkungan hidup dan arsitektur perkotaan

tinggal di semarang

Selanjutnya

Tutup

Nature

Keseimbangan Alami dan Jejak Ekologi

28 September 2020   09:51 Diperbarui: 28 September 2020   10:01 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jejak ekologi adalah alat ukur untuk mengetahui seberapa besar energi telah digunakan oleh individu atau sekelompok masyarakat dalam suatu kota, wilayah, bahkan negara. Hal ini bisa digunakan untuk mengetahui apakah daya dukung lingkungan sudah terlampau atau belum.

Intinya, seberapa besar karbon kita hasilkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita, yaitu dengan menjawab tentang (antara lain):

  • Apa yang kita makan
  • Seberapa sering kita pergi
  • Apa alat transpotasi yang kita gunakan
  • Berapa banyak energi yang kita butuhkan untuk setiap kegiatan
  • Berapa banyak air yang kita butuhkan
  • Berapa luas rumah yang kita huni, dan seterusnya

Ternyata semakin urban perilaku kita, maka semakin tinggi jejak ekologi yang kita buat. Maka dari itu, kalau saat ini ada banyak pertumbuhan kota-kota di seluruh dunia dan wilayah Nusantara, maka akan semakin tinggi jejak ekologi di dunia dan khusunya Indonesia ini.

Urbanisasi berpengaruh langsung terhadap kenaikan nilai jejak ekologi. Lalu bagaimana kita harus mengendalikan diri agar jejak ekologi tetap terjaga agar bumi bisa lestari dalam jangka waktu yang panjang. Tidak mungkin kita melarang orang untuk bermigrasi dari rural ke urban.

Ternyata dalam menghitung jejak ekologi ini, besarnya nilai jejak ekologi itu dipengarhui oleh banyaknya manusia dan pemakaian energi sumberdaya bumi. Semakin banyak jumlah manusia dan semakin tinggi tingkat konsumsinya, maka semakin tinggi nilai jejak ekologi yang terjadi.

Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kerusakan lingkungan itu disebabkan oleh pertambahan penduduk yang tidak terkendali, karena penduduk makin banyak, energi atau sumberdaya alam yang dibutuhkan juga meningkat, terjadilah eksploitasi besar-besar terhadap sumberdaya alam. Eksploitasi yang besar ini pasti akan menciptakan limbah yang banyak pula, sehingga krisis bumi ditandai dengan adanya 3 (tiga) hal yaitu penduduk yang banyak, ekslpoitasi sumberdaya alam yang besar, dan limbah yang melimpah. Jadi kuncinya adalah pada pertambahan penduduk.

Tuhan memang masih menciptakan manusia, tetapi sudah tidak menambah luas bumi lagi, maka bumi akan penuh oleh kehadiran manusia-manusia baru. Menurut teori keseimbangan alami, suatu saat nanti akan tercapai keseimbangan alami untuk luasan bumi yang sekitar 510,1 juta km2 ini. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Pernah dengar cerita tentang dua ekor kelinci dan sebuah padang rumput?

Dikisahkan bahwa pada suatu padang rumput seluas 1 hektar, hiduplah dua ekor pasang kelinci, jantan dan betina. Mereka hidup bahagia, bisa makan sepuasnya, sebab rumput seluas 1 hektar itu hanya untuk mereka berdua, mereka bisa mencari rumput yang bergizi untuk makanannya. Sehingga kelinci ini tumbuh beranak pinak yang banyak.

Suatu ketika di padang rumput ini sudah terdapat ribuan kelinci, yang awalnya cuma dua tadi telah beranak pinak jadi ribuan. Dengan jumlah yang sangat banyak, maka rumput-rumput yang menjadi makanan utama kelinci tidak bisa tumbuh dengan baik, sebab ketika sedang mekar sudah menjadi bahan santapan untuk dimakan kelinci yang saling berebutan. Akhirnya banyak kelinci yang tidak kebagian makanan yang bergizi, banyak kelinci yang kurus, mudah kena penyakit, dan mati. Dengan banyaknya kelinci yang mati, maka rumpt bisa tumbuh subur lagi, tetapi dengan kesuburan rumput, meciptakan pertumbuhan kelinci yang banyak lagi. Jadi ketika rumput banyak yang subur, kelinci menjadi bertambah banyak, sedangkan ketika rumput banyak yang mati/tidak tumbuh, kelinci ikut berkurang jumlahnya, mati kelaparan. Hal ini terjadi berulang-ulang, hingga akhirnya terjadi keseimbangan alami, yaitu kelinci mampu menahan diri untuk tidak beranak ketika jumlah mereka masih banyak, agar rumput bisa tumbuh dengan baik guna menjadi bahan pangan bagi mereka (kelinci).

Demikian pula untuk manusia, kita makan dari sumberdaya alam yang lama-lama akan menipis jumlahnya. Dengan rekayasa teknologi apapun juga, semua bahan pangan untuk manusia itu dihasilkan dari sumberdaya alam yang ada di bumi, sehingga walau sekarang mungkin jejak ekologi bumi dan negara kita Indonesia ini sudah melampaui batas normal, kita tidak perlu khawatir, sebab suatu saat nanti pasti akan terjadi keseimbangan alami, kesimbangan antara jumlah sumberdaya dengan jumlah manusia yang membutuhkannya, entah itu di Jawa, Sumatera, atau Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan di dunia yang luas ini. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa manusia itu bisa berfikir, bisa menghitung, keseimbangan yang tercipta harusnya tidak berproses seperti yang dialami oleh kelinci, yaitu ada proses kematian dan pertumbuhan yang berulang-ulang dan lama, cukup dengan satu pengalaman, manusia harus sudah bisa memprediksi kejadian yang akan datang, sehingga tidak akan ada penderitaan yang panjang bagi sebagian besar manusia di muka bumi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun