Mohon tunggu...
Anggitsari Parendra
Anggitsari Parendra Mohon Tunggu... -

Ketika sesuatu tak terungkapkan oleh lisan, menulis adalah pilihan yang menyenangkan :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tak Terlupakan: Antikucing Menjadi Baby Sitter Kucing

27 April 2012   15:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:01 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian mengharu biru ini sebenarnya merupakan kenangan lama. Hari itu, sekitar tiga tahun yang lalu, ada suara anak kucing yang sedari sore mengeong terus. Awalnya saya tidak begitu memperhatikan suara itu, tapi ibu saya berulang kali membahas suara kucing yang rupanya sangat menyita perhatian beliau.  "Jangan-jangan ditinggal emaknya kucing!", "Jangan-jangan kucing dibuang sama orang!", dan bla..bla..bla..bla..! Saya cuma manggut-manggut dan ham...hemm...hamm...hemm aja mendengarkan ibu saya ceramah tentang praduga darimana suara kucing itu berasal.

Jujur saja saya memang kurang tertarik dengan bahan ceramah ibu saya sore itu karena pada dasarnya saya adalah orang yang sangat anti dengan yang namanya kucing. Meski banyak orang yang menganggap hewan ini lucu dan menggemaskan tapi bagi saya kucing adalah hewan yang sangat menggelikan dan haishhhh jangankan menyentuh, didekati saja saya bakal lari ngacir. Mendingan pegang ulat ijo atau cacing daripada pegang kucing!

Berhubung sepanjang sore suara anak kucing itu nggak berhenti-berhenti, akhirnya menjelang maghrib ibu saya menyuruh saya mengecek di sekeliling rumah untuk mencari keberadaan kucing itu. Langsung saja saya menjalankan perintah ibu saya (*daripada ibu saya ribut terus). Mungkin karena memang saya kurang niat mencarinya, saya tidak menemukan batang hidung si kucing.

Sampai Isya suara anak kucing itu masih juga terdengar. Dan yang lebih membuat ibu saya tambah panik cuaca di luar memburuk, petir menyambar-nyambar pertanda akan turun hujan. Ibu saya mulai mbingungilagi. "Sana mbak dicari lagi, kasihan kalau sampai kehujanan!" Iya juga sih, pikir saya. Dan kali ini tidak hanya saya yang terjun langsung mencari anak kucing itu, adik-adik saya dan para tetangga pun ikut mencari gara-gara ibu saya cukup hebring! Hah, saya juga heran kenapa ibu saya jadi sepanik itu, padahal ibu saya tidak pernah sedikitpun tertarik dengan dunia "perkucingan"! Ckckck...

"Ketemu!" teriak adik saya. Ternyata lokasi keberadaan si kucing yang sedari sore mengeong terus ada di depan rumah tetangga saya, tergeletak begitu saja di atas tanah di antara semak-semak. Saya, ibu saya, dan juga para tetangga saya langsung menuju ke TKP. MasyaAllah, mengenaskan sekali. Tidak seperti kucing yang ada di benak saya. Kucing yang kami temukan masih sangat kecil sekali, sebesar tikus ukurannya. Belum bisa berjalan, belum bisa membuka mata, dan masih ada tali pusarnya. Sepertinya baru saja lahir terus langsung dibuang oleh pemiliknya. Masalahnya di lingkungan rumah saya tidak ada kucing yang lagi hamil. Dan sangat tidak mungkin kan si emak kucing yang baru saja lahiran meninggalkan anak-anaknya begitu saja dalam waktu yang cukup lama. Itu menyalahi ilmu etologi tentang perkucingan #halah ;p Jadi satu-satunya kemungkinan adalah kucing itu dibuang!

Dari suaranya sepertinya tidak hanya satu anak kucing. Benar saja, sewaktu kami cek ternyata ada 4 ekor anak kucing. Suara-suara anak kucing lama-lama jadi serak-serak parau, bagaimana tidak sedari sore mengeong terus. Pokoknya benar-benar mengenaskan. Ibu saya mulai berkomando lagi "Dimasukkan ke dos terus dikasih kain-kain biar anget, kucingnya kedinginan itu!" Saya pun langsung mencari dos dan kain-kain sebagai pertolongan pertama ;p (*yang penting ngabur dulu sebelum disuruh ngangkatin anak kucing...isshhh..geli!).

Setelah dos dan kain-kainnya siap sebagai kamar baru si anak-anak kucing, ibu saya dan adik saya serta tetangga saya memasukkan anak kucing itu ke dalam dos. "Haus tuh kucingnya, dari tadi meong-meong terus.." kata ibu saya. "Dikasih susu bayi aja!" tetangga saya yang kebetulan punya bayi bersedia membuatkan susu bayi untuk si bayi kucing. "Terus gimana cara meminumkannya?" saya bingung garuk-garuk kepala. Ide gila ibu saya muncul "pake suntikan tinta printer!" Hmm..masuk akal sih, tidak terlalu buruk sepertinya, dan saya langsung cap cus masuk rumah ambil suntikan printer. Setelah semua anak kucing minum susu, ternyata meong-meongnya mereda. Huft...syukurlah.. Sepertinya memang kucing-kucing itu betul-betul haus. "Terus kucingnya mau ditaruh mana?" tanya saya sedikit cemas. "Dibawa masuk ke rumah aja!" Jawab adik saya. Ibu saya mengangguk angguk tanda setuju. Hah?! Yang benar saja saya yang anti kucing akan tinggal serumah dengan kucing-kucing itu. "Oke, tapi aku nggak ikut-ikut!" timpal saya sedikit kesal. Dan sayangnya perkataan saya itu cuma di mulut saja, karena kenyataannya selama beberapa hari  saya menjadi baby sitter untuk si anak-anak kucing itu. Ajaib bukan?!

Ya, sejak malam itu saya punya kegiatan tambahan. Mulai dari membeli susu bayi di supermarket buat si anak kucing, membuatkan susu tiga kali sehari, meminumkan susu dengan suntikan printer, menjemur dibawah sinar matahari setiap pagi, mengelap seluruh tubuh si anak-anak kucing dengan lap basah (mandiin ceritanya) termasuk juga bagian kelopak mata (kata ibu saya biar cepet bisa membuka mata), dan juga membersihkan kandangnya. Sebenarnya kalau meminumkan susu sih sudah dibagi tugas. Saya, pagi sebelum kuliah, adik siang sepulang sekolah, dan ibu sore sepulang kerja. Ajaibnya adalah kerena meminumkan susu itu harus memegang kucing, alhasil saya yang sangat anti dengan kucing menjadi berani untuk menyentuh tubuh mungil anak kucing yang menggelikan itu. WoW!!!

Dua hari berlalu, semua baik-baik saja. Tapi keadaan masih sama, si anak kucing belum bisa berjalan, belum bisa membuka mata, dan tali pusar masih ada, belum juga lepas. Menjelang malam ada satu anak kucing yang terlihat begitu lemas. Cukup ketar-ketir sih dengan keadaan anak kucing yang lemas itu. Hingga pagi harinya sekitar subuh ibu saya menemukan anak kucing yang lemas itu terbujur kaku. Innalilahi. Pagi itu jadilah bapak saya tukang gali kubur dadakan untuk menguburkan si anak kucing yang meninggal.

Tinggal 3 ekor anak kucing. Ternyata malamnya ada satu anak kucing lagi yang lemas, seperti kucing pertama yang mati. Takut kucing itu akan bernasib sama dengan kucing sebelumnya ibu saya bergegas menelepon temannya yang juga memelihara kucing. Karena teman ibu saya kurang begitu berpengalaman dengan anak kucing yang masih bertali pusar akhirnya dia memberikan nomor telepon dokter hewan kepada ibu saya. Ibu saya segera menghubungi dokter hewan itu. Kata dokter hewan itu: kemampuan hidup anak kucing yang baru saja lahir  dan terpisah dari induknya memang sangat kecil dan sangat rentan sakit. Karena perlindungan utama untuk kucing yang baru lahir adalah dari induknya. Induk kucing memiliki semacam enzim dari air liurnya yang berfungsi sebagai imun jika dijilat-jilatkan kepada anaknya. Bagi anak kucing yang baru saja lahir, asupan gizi hanya dari air susu induknya. Kalau menggunakan "suntikan printer" lubangnya terlalu besar, beda sekali dengan morfologi puting induk kucing dimana air susu keluar melalui pembuluh darah yang sangat kecil sekali. Kalau menggunaakan suntikan printer lubangnya terlalu besar dan akan mengakibatkan anak kucing tersedak serta air susu bisa masuk ke saluran pernapasan dan dapat menyebabkan kematian.

What??? Jadi niat baik saya meminumkan susu ke anak kucing dengan menggunakan suntikan printer rupanya adalah sebuah tindakan pembunuhan. Bagus sekali! Saya sudah mati-matian mengubur kegelian saya terhadap kucing yang niatnya mau menolong eh ternyata malah membunuh. Hmm.. sebelum jatuh korban lagi, tanpa ba bi bu melalui status facebook  saya langsung menawarkan anak-anak kucing itu kepada teman-teman saya. Dan alhamdulilah ada yang bersedia mengadopsi. Fyuhh...lega...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun