Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengais Kenangan Bunga Kertas di SD Negeri 1

26 November 2017   00:51 Diperbarui: 26 November 2017   02:22 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Kertas di SD Negeri 1 (Pribadi)

Mumpung sedang Hari Guru, izinkanlah saya sedikit bernostalgia dengan masa-masa sekolah dulu. Sekaligus, saya mempersembahkan tulisan ini kepada seluruh guru di Tanah Air, khususnya kepada guru-guru Sekolah Dasar (SD) di manapun berada. Sebagai salah satu anak-anak dari gerbong pelajar yang tidak pernah merasakan bangku TK, guru SD adalah segalanya. Sebab di zaman dulu, belum ada sekolah TK.

Dimulai dari guru kelas 1 yang dengan sabar mengenalkan huruf dan angka hingga mampu membaca, menulis, serta berhitung ala kadarnya. Begitu seterusnya hingga kelas 6, satu tahun mata pelajaran hanya dibimbing satu guru tetap saja, kecuali pelajaran agama dan olah raga. Kedua mata pelajaran ini pun hanya berlangsung sekali seminggu saja.

Begini ceritanya:

Desember 2004, bukan main bahagianya saat saya berkesempatan untuk sejenak pulang kampung. Itu merupakan pulang kampung perdana sejak merantau ke Jakarta, tiga tahun sebelumnya. Seperti tradisi perantau lazimnya, saya juga bernostalgia ke sekeliling kampung yang hampir seluruh penduduknya masih saling mengenal. Saling menyapa, bersalaman, dan bercanda tawa. Indahnya dunia.

Nah, tibalah saya di SD Negeri 173593 Parsoburan, Habinsaran, tempat menimba ilmu di pertengahan 1989 hingga pertengahan 1995. SD ini biasa disebut dengan SD 1 saja, yang juga bertetangga langsung dengan SD 173594 dengan sebutan SD 2. Belakangan, kedua SD ini disatukan, dengan mengusung nama SD 1 saja.

Puas rasanya bisa berkunjung ke SD itu. Apalagi saat pandanganku mengarah ke sebuah pohon rindang yang penuh kenangan: Bunga Kertas. Di kampung, kami menyebutnya "Bunga Harotas" atau "Bunga Karotas". Saya takjub, bunga itu masih tetap berdiri kokoh. Tinggi bunga yang bercokol di depan kantor sekolah itu pun sepertinya masih sama. Sekira dua meter, dengan kelopak bunganya berwarna merah jambu alias pink. Tetapi seingat saya, kelopak bunganya juga bercampur; ada pula berwarna merah.

Konon, jauh sebelum saya dan empat puluhan teman sekelas bersekolah di sana, bunga kertas itu sudah berdiri tegak. Tepatnya sudah eksis sejak 1970-an. Jika dihitung, bunga dengan dahan berduri ini sudah berumur 50-an tahun.

Bunga kertas yang oleh 'Orang Barat' dinamai bougainvillea ini memang banyak meninggalkan memori. Sejak kelas 4, kalau tak lupa, guru sudah mewajibkan kegiatan kebersihan pekarangan sekolah usai lonceng pulang berbunyi. Sedangkan esok paginya, giliran kelas 5 yang bertugas serupa. "Eta ma taundat-undat bunga on, asa loja na kebersihan sogot (ayo kita goyang pohonnya agar yang giliran kebersihan besok lebih capek)," begitu selalu ajakan nakal dari teman sesama petugas kebersihan.

Tetapi, kegiatan meluruhkan dedaunan bunga itu mesti didahului ritual memata-matai Pak Kepala Sekolah yang kebetulan menetap di perumahan sekolah. Sebab, Pak Pasaribu, Sang Pak Kepala Sekolah, yang kini telah almarhum, bukan orang sembarangan. Ketahuan merusak bunga, dijamin 'benjol-benjol'.

Jangankan karena merusak bunga, pelajaran kesenian yang sering diisi dengan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan, tak jarang berujung muram bagi kami. "Dang pas suaramuna i. Ulang jo (Suara kalian kurang pas, ulangi lagi)," sergah dia saat memasuki kelas. Guru kelas kami, yang mampu mengajar semua mata pelajaran kecuali agama dan olahraga pun hanya bisa senyum. Mempersilakan Pak Kepala Sekolah mengambil alih situasi yang mendadak 'mengerikan' itu.

Sampai saat ini, bunga kertas yang rimbun itu tetap setia menemani anak-anak Parsoburan menimba ilmu. Menjadi tempat berteduh di saat-saat tertentu. Paling banyak jika semua guru sedang punya urusan lain. "Dang tontu hita, marrapot guru sonari (Enak nih bisa santai, semua guru sedang rapat)," sumringah seorang teman, sambil duduk menikmati semilir angin di bawah rindangnya bunga kertas. ***

Selamat Hari Guru. Jayalah Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun