Harus diakui, produk Tupperware memang handal. Inovatif, fungsional, tahan lama, dan desainnya pun menarik hati. Di masanya, Tupperware menjadi yang terdepan dalam memperkenalkan tekhnologi kedap udara untuk menjaga kualitas makanan dalam penyimpanan.
Namun jujur saja bagi saya, Tupperware adalah sebuah dilema.
Bagaimana tidak, meski tahu bahwa plastik itu kurang baik untuk lingkungan hidup - akan tetapi, rak dapur saya seolah tak pernah cukup menyimpan aneka rupa wadah tupperware. Mereka bertumpuk berjejalan bersama dengan waffle maker yang hanya sesekali saya pakai dan siap untuk jatuh berhamburan ketika ada yang kurang hati-hati membuka pintu kabinet.
Raknya memang tidak besar sih, dapurnya pun mungil.Â
Selalu ada dua atau tiga tumpukan wadah tupperware yang terpaksa menyita area meja makan. Selain karena rak yang kurang besar, invasi mereka di meja makan tak terbendung karena alasan praktis lebih mudah dijangkau saat terburu-buru menyiapkan bekal pagi untuk ke sekolah dan bekerja.
Tupperware adalah dilema bagi ibu-ibu mendang mending macam saya. Desainnya yang imut ditambah dengan rayuan maut penjualnya -- yang sering kali adalah teman, kerabat atau tetangga  - membuatnya sulit untuk ditolak meski harganya sama sekali tidak imut.Â
Ya, direct selling sebagai strategi pemasaran andalan Tupperware terbukti ampuh membuat keputusan pembeli tak sekedar bersifat rasional melainkan juga emosional.Â
Di sela-sela acara arisan, pesta ulang tahun, atau apapun judul dari acara kumpul-kumpul ibu-ibu, Tupperware sering kali menjadi bintang tamu yang disambut hangat. Acara semacam itu menjadi media yang efektif untuk mempromosikan tupperware, apalagi ada yang menawarkan fleksibilitas pembayaran secara mengangsur.Â
Lantas, ia menjelma menjadi semacam "identitas kolektif" di antara para ibu. Entah karena FOMO, solidaritas kepada agen penjualnya, ataupun sungkan untuk menolak adalah beberapa alasan emosional yang sering lebih mengemuka dibandingkan dengan alasan rasional di balik keputusan pembelian produk Tupperware.
Kehandalan Tupperware menggunakan teknologi kedap udara membuat makanan yang disimpan menjadi tak mudah berjamur memang harus diakui. Apalagi Tupperware terbuat dari plastik yang diklaim bersifat food grade alias aman untuk makanan.Â
Terkadang, memandang warna warni menggemaskan tumpukan tupperware memberikan kepuasan tersendiri karena membuat saya merasa telah memilih yang terbaik untuk keluarga.Â
Namun, rasa aman itu terkadang terasa palsu ketika menyimak pernyataan para ahli tentang potensi kontaminasi mikroplastik pada makanan dan minuman yang disimpan dalam wadah plastik.
Meski sebagian ahli mengatakan bahwa dalam kuantitas yang kecil, kehadiran mikroplastik dalam tubuh manusia tidak berbahaya, namun hingga kini permasalahan tersebut masih menjadi misteri yang belum 100% terjawab tuntas.
Makin hari, wadah plastik di rumah kian menumpuk. Â Sebagian adalah kemasan plastik dari layanan bawa pulang (take away) dari restoran atau supermarket. Â Tak terelakkan meski sudah berusaha membatasinya.Â
Sering kali ketika membawa pulang makanan dalam wadah plastik seperti itu, ada rasa bersalah dalam diri saya dan terbayang sampah plastik seluas 2 kali pulau Kalimantan mengapung di samudra raya. Kalau sudah demikian, terbitlah rasa sesal kenapa tadi tidak bawa wadah tupperware saja sehingga tidak menambah sampah plastik?
Ah.... kadang kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian alam menjebak diri saya dalam perasaan serba salah.
Secara berkala saya menyisihkan wadah plastik yang tak lagi terpakai untuk disetor ke bank sampah PKK. Sebagian harus disisihkan karena sudah rusak atau tutupnya hilang.Â
Tak terkecuali wadah tupperaware. Ada kotak tupperaware yang tak bisa dipakai lagi karena bolong terkena setrika panas. Rupanya anak lanang menyetrika sambil ngemil. Entah bagaimana ceritanya, wadah camilannya bolong terkena setrika panas. Ada pula tutup wadah yang telah koyak sehingga tak lagi bisa berfungsi optimal.Â
Tupperware memang bukan barang ajaib yang mustahil rusak. Ketika sudah rusak, ia tak ada bedanya dengan wadah plastik sekali pakai lainnya yang hanya akan menjadi sampah yang tak terdaur ulang seluruhnya.
Seiring dengan tutupnya Tupperaware, ada sebersit kebimbangan. Terlebih karena sekarang tak bisa lagi mengganti tutupnya manakala sudah getas dan koyak. Apakah saya akan menggunakannya terus hingga ia koyak dan rusak lalu turut memperluas pulau plastik yang mengapung di samudera? Ataukah berhenti memakainya, menjadikannya sebagai koleksi "limited edition", benda kenangan yang menyesaki rumah mungil saya, atau warisan yang belum tentu disukai anak cucu?
Tupperware, wadah makanan bawa pulang, alat waffle maker yang tidak diperlukan: semuanya adalah tentang ekses dari konsumsi kapitalis modern---keberlimpahan yang terwujud dalam lemari yang penuh dengan plastik tupperware yang berjatuhan, dan diriku yang terkadang dihinggapi rasa bersalah karena ketidakmampuanku untuk melepaskan diri dari semua itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI