Pulau Bali tidak hanya dikenal karena keindahan alam dan budayanya, tetapi juga karena filosofi hidup masyarakatnya yang sangat dekat dengan alam. Salah satu nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana, yang berarti "tiga penyebab kebahagiaan." Konsep ini menekankan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan lingkungan alam (Palemahan). Melalui penerapan nilai-nilai ini, masyarakat Bali secara tidak langsung telah berkontribusi dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, yaitu gas-gas yang menyebabkan pemanasan global.
Dalam kehidupan sehari-hari, nilai Palemahan diterapkan dengan menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat Bali sangat menghargai alam sebagai sumber kehidupan, sehingga mereka berusaha untuk tidak merusaknya. Contohnya, banyak desa adat yang memiliki aturan larangan menebang pohon sembarangan dan sebaliknya memiliki kewajiban untuk melakukan penanaman kembali. Kegiatan seperti menanam pohon di sekitar pura, sawah, dan pemukiman membantu menyerap karbon dioksida (CO) dari udara, sehingga mengurangi efek rumah kaca dan pemanasan global. Dengan begitu, kebiasaan tradisional ini berperan nyata dalam menjaga keseimbangan iklim.
Selain itu, pengelolaan sampah berbasis adat juga menjadi bentuk nyata kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Di beberapa desa, masyarakat menerapkan sistem "bank sampah" dan daur ulang bahan organik menjadi pupuk kompos. Dengan mengurangi pembakaran sampah dan memanfaatkan limbah organik, emisi gas metana (CH) dapat ditekan. Kegiatan ini tidak hanya mendukung kebersihan lingkungan, tetapi juga memperkuat ekonomi masyarakat melalui hasil kompos yang bisa dijual atau digunakan kembali untuk pertanian.
Dalam bidang pertanian, masyarakat Bali masih mempertahankan sistem Subak, yaitu sistem pengairan tradisional yang berbasis kerja sama dan gotong royong. Sistem ini mengatur penggunaan air dengan baik dan efisien, serta menghindari pemborosan sumber daya alam. Selain itu, banyak petani Bali yang masih menerapkan pertanian organik tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Hal ini membantu mengurangi emisi dari pupuk buatan dan menjaga keseimbangan ekosistem tanah. Subak bahkan telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia karena nilai ekologis dan sosialnya yang tinggi.
Melalui penerapan kearifan lokal seperti Tri Hita Karana, Subak, dan pengelolaan sampah berbasis adat, masyarakat Bali membuktikan bahwa pelestarian budaya dapat berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan. Nilai-nilai tradisional yang diwariskan turun-temurun ini menjadi inspirasi bagi dunia modern untuk menghadapi krisis iklim dengan cara yang lebih bijaksana dan berakar pada budaya. Dengan menjaga harmoni antara manusia dan alam, Bali memberikan contoh nyata bahwa solusi terhadap perubahan iklim tidak selalu harus datang dari teknologi canggih, tetapi juga dari kebijaksanaan lokal yang sederhana namun bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI