Di jalan nasional yang menghubungkan Wonosobo dan Banjarnegara, berdiri seekor biawak raksasa. Tidak sedang melata atau mengintai mangsa, tapi dalam bentuk patung setinggi tujuh meter yang berdiri gagah di atas batu, menghadap ke arah jalan.
Sekilas, siapa pun yang melintas di Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, akan mengira itu biawak raksasa sungguhan yang sedang mengawasi lalu lintas.
Patung ini viral di media sosial. Bukan hanya karena bentuknya yang realistis dan mencolok, tetapi karena kisah di baliknya. Ia bukan proyek prestisius dari anggaran daerah miliaran rupiah, bukan pula pesanan dinas pariwisata. Ia adalah hasil gotong royong, ide dari Karang Taruna setempat, dan pendanaannya berasal dari program Corporate Social Responsibility (CSR) sejumlah pihak.
Di Desa Krasak, biawak bukan hewan asing. Ia kerap dijumpai dan sudah dianggap bagian dari lanskap hidup masyarakat. Maka ketika muncul ide untuk membuat penanda desa yang kuat, pilihan itu jatuh pada hewan yang selama ini diam-diam menjadi bagian dari identitas lokal; biawak!.
Dalam dunia branding, ini semacam langkah cerdas nan instingtif. Mengangkat sesuatu yang otentik sebagai simbol visual adalah salah satu cara paling ampuh membangun citra. Dan Desa Krasak melakukannya tanpa perlu jasa konsultan identitas visual. Cukup dengan naluri kolektif dan mempercayakannya pada seniman lokal Rejo Arianto.
Patung ini dengan segera menjelma menjadi ikon. Ia tidak hanya memperkuat kebanggaan warga terhadap desanya sendiri, tetapi juga memperluas citra desa ke luar batas administratifnya. Setiap unggahan foto biawak yang dibagikan warganet adalah promosi gratis bagi Desa Krasak, branding desa secara organik dan efektif.
Rejo Arianto adalah seniman di balik patung tersebut. Ia bukan orang luar, bukan juga seniman kondang nan kenamaan, dialah warga asli Wonosobo. Ia dikenal aktif di bidang seni, dan ketika ide patung biawak itu muncul, dialah yang dipercaya untuk merealisasikannya. Ia bahkan sempat berutang di awal pengerjaan karena belum ada dana cair.
Namun belakangan diketahui bahwa anggaran pembuatan patung ini hanya berkisar Rp50 juta saja. Bukan angka yang luar biasa jika dibandingkan dengan proyek-proyek publik lainnya. Tapi dari tangan seorang Rejo, nilai itu berubah menjadi simbol, menjadi karya yang membuat orang berhenti, menoleh, lalu mengambil foto dan membagikannya ke "seluruh dunia".
Di era ketika proyek publik sering kali identik dengan betonisasi dan pembangunan pragmatis, kehadiran patung biawak ini menghadirkan pendekatan berbeda; estetika sebagai investasi.
Letaknya yang strategis, di jalur utama antar kabupaten, membuat patung ini bukan hanya dekorasi, tapi potensi wisata. Ia menjadi titik foto, bahan konten, dan obyek naratif yang memperkenalkan Desa Krasak pada orang-orang yang sebelumnya hanya melintas.
Proyek ini menjadi bentuk aspirasi masyarakat yang diwujudkan lewat gotong royong, bukan APBD. Bahkan informasi dari masyarakat anggarannya sangat minimalis. Pemerintah daerah tidak menganggarkan lewat dana publik, melainkan mendorong partisipasi BUMD dan CSR agar turut andil.