Untuk Anak-anak yang Belajar Merindukan
Malam sudah tua, tapi suara-suara kecil dari masa depan belum lelap di dalam kepalaku. Anak-anakku, yang kucintai bahkan sebelum kalian mengucap kata "bapa", terus hadir di antara senyap kamar kontrakan ini. Barangkali karena malam di tanah rantau memang terlalu luas untuk ditiduri sendirian.
Mama kalian bilang, si sulung mulai bertanya:
"Kapan bapa pulang? Bapa ke mana sih, Ma?"
Ah, Nak...
Pertanyaan itu lebih tajam dari mata jarum yang sering kugunakan menjahit sobeknya kemeja kerja. Pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan kalender, karena waktu tak pernah adil bagi yang sedang memperjuangkan sesuatu dari jauh.
Aku lahir di rumah kolong, di ujung timur pulau yang lambat menyebut nama, Kepi, kampung kecil yang ditaburi angin, diselimuti beringin tua, tempat masa kecilku bermain di areal tubu musu dan mengejar ayam sampai jatuh di lumpur.
Kini aku hidup di lantai dua sebuah bangunan sempit di Solo, jauh dari aroma pohon kemangi, dari tawa tetangga yang masih ingat nama kecilku. Di sini, semua orang sibuk. Bahkan rindu pun harus mengantri untuk dirasakan.
Rumah kita di Ende masih berdiri. Tapi, Nak, rumah tak selalu bisa menjadi tempat tinggal, apalagi saat perjuangan sedang berjalan. Kadang, rumah hanya bisa dititipkan pada doa mama kalian.
Waktu mama kirim video kamu, si bungsu, melangkah pelan sambil terjatuh, aku menontonnya berulang kali. Setiap langkahmu seperti suara yang memanggil pulang, tapi aku tak bisa menjawab. Hanya bisa membalasnya dengan ucapan "Hebat anak bapa!" dan menyeka sudut mata.
Bapa tidak hadir memegangi tanganmu saat kamu belajar berjalan. Tapi tahukah kamu, Nak?
Langkah-langkah kecilmu adalah alasan kenapa aku harus berdiri tegak setiap hari di tanah asing ini.