Dalam dunia perkerisan di Indonesia untuk menentukan periodisasi keris terlebih dahulu para ahli melakukan suatu perkiraan bilah keris yang disebut dengan menangguh. Menangguh berasal dari kata tangguh yang memiliki pengertian suatu cara untuk memperkirakan tahun pembuatan keris atau bisa juga memperkirakan gaya (style) keris yang merujuk pada wilayah tertentu. Istilah gaya (style) wujud atau bentuk keris dalam dunia perkerisan disebut dengan pasikutan.
Pasikutan atau sikutan adalah istilah untuk menilai gaya irama bentuk serta kesan perwatakan tosan aji, khususnya keris (Ensiklopedia Keris, 2011). Ada beberapa macam jenis pasikutan dalam dunia perkerisan, yaitu :
- Pasikutan kaku, yaitu bentuk bilah keris yang cenderung tidak serasi dan janggal,
- Pasikutan wingit, yaitu bentuk bilah keris yang cenderung menimbulkan suasana menyeramkan atau terkesan angker,
- Pasikutan prigel, yaitu bentuk bilah keris yang terkesan tangkas dan terampil,
- Pasikutan sedeng, yaitu bentuk bilah keris yang sedang (tidak terlalu panjang atau terlalu pendek),
- Pasikutan demes, yaitu bentuk bilah keris yang rapi dan enak dipandang,
- Pasikutan wagu, yaitu bentuk bilah keris yang kurang serasi dan kurang harmonis,
- Pasikutan odol, yaitu bentuk bilah keris yang kasar dan terkesan asal jadi,
- Pasikutan kemba, yaitu bentuk bilah keris yang hambar,
- Pasikutan tanpa semu, yaitu bentuk bilah keris yang tidak mempunyai kesan,
- Pasikutan sereng, yaitu bentuk bilah keris yang terkesan galak dan keras,
- Pasikutan bagus atau ayu, yaitu bentuk bilah keris yang terkesan menyenangkan, luwes.
Selain dari gaya (style) bilah keris, memperkirakan asal-usul keris bisa juga dari kesan perabaan bilah keris itu sendiri, warna bilah keris (cenderung kebiruan, kemerahan, kehijauan dsb.), pengetrapan bahan pamor, dan ricikan (komponen-komponen) bilah keris.
Periodisasi keris secara umum di Indonesia dibagi menjadi beberapa zaman yaitu :
- Zaman kuno (125 M – 1125 M)
- Madya kuno ( 1126 M – 1250 M)
- Sepuh tengahan (1251 M – 1459 M)
- Tengahan (1460 M – 1613 M)
- Nom (1614 M – 1945 )
- Kamardikan (1945 – sekarang)
Sedangkan periodisasi kerajaan di Indonesia ialah :
- Salakanagara (130-362)
- Kutai (abad ke-4)
- Tarumanagara (358–669)
- Kendan (536–612)
- Galuh (612-1528)
- Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
- Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
- Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
- Kerajaan Medang (752–1006)
- Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
- Kerajaan Sunda (932–1579)
- Kediri (1045–1221)
- Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
- Singhasari (1222–1292)
- Majapahit (1293–1500)
- Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Baik periodisasi keris maupun periodisasi kerajaan di Indonesia memang diakui memiliki berbagai versi. Hal ini semakin menambah khazanah pengetahuan dari sudut pandang manakah kita akan mempelajarinya.
Pada zaman kuno, periodisasi keris masih dibagi dua masa, yaitu masa kadewatan dan masa kabudan.
Sebagian pecinta keris menganggap bahwa masa kabudan ini terjadi sekitar abad ke-6 sampai 9 atau 10, yakni seperiode dengan masa-masa pembangunan candi Borobudur sampai dengan masa kerajaan Kahuripan (Ensiklopedi Keris, 2011). Dari periodisasi kerajaan di atas dapat kita simpulkan bahwa masa kabudan berlangsung di era kerajaan Galuh (612-1528), Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7), Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13), Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9), Medang (752–1006), dan Kahuripan (1006–1045).
Pada masa kabudan ini empu pencipta keris diantaranya ialah :
1. Empu Mayang (725)
Karya empu Mayang ialah Sang Carubuk, Kebo Lajer dan keris Singha. Dari nama keris yang diciptakan bisa jadi empu Mayang ialah empu Dewayasa II.
2. Empu Sarpadewa
Beliau hidup pada masa negeri Mamenang, karyanya berupa 3 bilah keris pusaka yang diberi nama Sang Cengkrong, Sang Damarmurup, Sang Carita. Ada kisah tentang empu Sarpadewa yang terkenal yaitu saat beliau didatangi seorang dari negeri tetangga dan dimohon untuk membuatkan keris pusaka untuk orang tersebut. Karena kecantikan si pemesan yang juga seorang nahkoda kapal, empu Sarpadewa kemudian jatuh cinta. Dengan segera empu Sarpadewa mewujudkan keris pusaka yang dipesan oleh perempuan itu. Pembuatan keris pusaka ini ternyata diketahui oleh raja Mamenang dan membuat murka sang raja. Empu Sarpadewa akhirnya diusir keluar dari negeri tersebut, dan keris pusaka diserahkan kepada sang nahkoda kapal.
3. Empu Ramayadi
Beliau hidup sekitar tahun 827, karyanya ada tiga bilah pusaka yaitu Sang Pandawa, Sang Kresna Tanding, dan Sang Bhimakroda. Empu Ramayadi bukanlah penduduk asli negeri Mamenang namun berasal dari negeri lain. Karena kepandaiannya dalam bergaul dan melebur dalam kebudayaan negeri Mamenang, beliau merasa diterima sebagai warga Mamenang.
4. Empu Gadawisesa
Beliau hidup sekitar tahun 941 dan berhasil menciptakan dua bilah keris pusaka, yaitu Sang Megantara dan Sang Rarasjiwa atau disebut juga Rarasduwa, ada juga yang menyebutnya keris Lara Siduwa. Adapun pembuatan kedua keris pusaka tersebut atas titah Prabu Citrasoma di Pengging.
5. Empu Windudibya
Beliau hidup sekitar tahun 1119, adapun keris pusaka yang diciptakan ialah Sang Panjisekar, Sang Carangsoka, Sang Panjianom, dan Sang Sekargading. Keris-keris pusaka tersebut dibuat atas titah Prabu Amiluhur di Jenggala.
6. Empu Kandangdewa
Beliau hidup pada masa Kahuripan yaitu sekitar tahun 1045. Empu Kandangdewa diyakini masih satu perguruan dengan empu Kanwa, namun empu Kanwa lebih memilih menekuni dunia kesusastraan karena menganggap apapun yang berwujud senjata akan menimbulkan peperangan. Pada masa Kahuripan dipimpin oleh Airlangga empu Kanwa telah menciptakan karya sastra agung yang berjudul Arjuna Wiwaha. Ada cerita yang menarik tentang empu Kandangdewa, yaitu saat beliau melakukan suatu perjalanan dan bertemu dengan seorang pertapa yang bernama Sang Jatinindra. Sang Jatinindra tak lain ialah Airlangga yang merupakan raja Kahuripan. Dalam pertemuannya itu Sang Jatinindra menyarankan agar empu Kandangdewa untuk mengabdikan dirinya ke negeri Jenggala. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada sekitar akhir tahun 1042, raja Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta,  raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Untuk menyamarkan namanya maka raja Airlangga menggunakan nama Sang Jatinindra. Dalam rentang waktu satu tahun, empu Kandangdewa telah berhasil menciptakan tiga bilah pusaka, yaitu Sang Sabukinten, Sang Jalak, dan Sang Kalawelang.
7. Empu Windusarpa
Beliau hidup sekitar tahun 1000 – 1100. Keris pusaka yang dibuat oleh empu Windusarpa ada tiga bilah, yaitu Sang Barojol, Sang Bethok, dan Sang Larbango. Empu Windusarpa diyakini ialah nama lain dari empu Kandangdewa (berdasarkan keris yang dibawa saat menghadap prabu Jayengrana). Ada cerita saat pertama kali empu Kandangdewa menghadap ke Prabu Jayengrana raja Jenggala saat itu, sang prabu terperanjat karena seakan-akan ia melihat seekor ular yang melilit tubuh empu Windusarpa. Namun ternyata bukanlah ular yang melilit tubuh empu Kandangdewa, melainkan keris pusaka Sang Kalawelang. Dan sejak saat itu empu Kandangdewa diterima mengabdi di kerajaan Jenggala dan mengubah namanya menjadi empu Windusarpa.
8. Empu Wareng
Keris pusaka yang dibuat empu Wareng  sekitar tahun 1100 – 1103 pada masa Pengging Witaradya. Ada tiga bilah keris pusaka ciptaannya yaitu Sang Lunggadung, Sang Pandawa Lare, dan Sang Supana. Namun setelah menciptakan ketiga bilah pusaka itu, beliau meninggal dunia sehingga tidak ada lagi keris yang diciptakannya.
9. Empu Gandawijaya
Empu gandawijaya hidup sezaman dengan empu Wareng yaitu pada masa Pengging Witaradya. Beliau menggantikan kedudukan empu Wareng sebagai empu kepercayaan sang raja. Sepeninggal empu Wareng tidak ada satupun empu yang menciptakan keris di negeri tersebut. Dan pada tahun 1125 empu Gandawijaya mulai menciptakan keris pusaka. Dan selama hidupnya empu Gandawijaya hanya membuat tiga bilah keris yaitu Sang mengeng, Sang Carubuk, dan Sang Buntala. Selain itu empu Gandawijaya juga membuat keris patrem, yaitu keris yang berukuran kecil dan diperuntukkan kaum perempuan. Adapun keris patrem yang beliau ciptakan ialah Nyi Carangbuntala, Nyi Pulut Benda, dan Nyi Puthut.
Jika pada masa lalu keris digunakan sebagi senjata dalam sebuah peperangan, namun pada perkembangan selanjutnya keris mengalami perluasan fungsi. Keris dipandang sebagai senjata untuk menempuh kehidupan.
Mengenai asal-usul nama keris, Koesni (1979) menjelaskan bahwa keris berasal dari dua kata yaitu kekeran dan aris yang disingkat menjadi keris. Kekeran memiliki arti pagar; penghalang; peringatan; pengendalian. Sedangkan Aris berarti tenang; lambat; halus. Jadi keris secara filosofi dianggap dapat ngeker atau memagari dan menghalangi atau mampu mengendalikan si pemilik secara aris yang berarti halus dan tenang atau secara lambat dan sabar.
Bahan bacaan :
- Koesni (Pakem Pengetahuan Tentang Keris, 1979)
- Dr. John Miksic ( Seri Indonesian Hertage : Sejarah Awal, 2002)
- Prasida Wibawa (Pesona Tosan Aji, 2008)
- F.L. Winter (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009)
- Bambang Harsrinuksmo (Ensiklopedia Keris, 2011)
- KRHT Hudoyo Doyodipuro, Occ (Keris Daya Magic – Manfaat – Tuah – Misteri, 2012)
- Ki Juru Bangunjiwa (Keris Gagrak Kasultanan Ngayogyakarta, 2014)
- https://id.wikipedia.org/wiki/Nusantara_pada_periode_prasejarah
- https://id.wikipedia.org/wiki/Garis_waktu_sejarah_Indonesia
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara
- https://id.wikipedia.org/wiki/Keris