Mohon tunggu...
palge
palge Mohon Tunggu... Wiraswasta - petik pelajaran dari masa lau

menulis lah.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanamlah, Maka Engkau, dan Anak Cucumu Akan Menu (1)

25 Juli 2019   19:34 Diperbarui: 25 Juli 2019   19:35 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini (mungkin) akan panjang. Sehingga saya akan membaginya dalam 2 atau 3 tulisan terpisah.

Dalam perjalan hidup saya selama 52 tahun, 40 tahun lamanya saya habiskan di rantau orang. Dan selama itu pula, saya banyak belajar dari kehidupan. Banyak mengalami hal yang sangat bermanfaat dalam hidup.

Tamat Sekolah Dasar tahun 1981 pada usia 12 tahun di sebuah desa yang indah bernama Parhitean (saya akan meulis tentang Parhitean para satu tulisan tersendiri), saya sudah harus pisah dari orang tua untuk melanjutkan pendidikan di SMP Sigumpar dan Narumonda, yang berjarak sekitar 50 KM dari kampung. Di zaman itu, jarak seperti itu sudah terasa jauh, sehingga dapatlah dikategorikan merantau. 

Lulus SMP tahun 1984, saya melanjutkan ke SMA masih di tempat yang sama. Tahun 1987, setelah lulus SMA, saya diterima di sebuah universitas ternama di Kota Medan. Setelah melalui sebuah perjuangan panjang dan melelahkan, empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1991, saya diwisuda.

Perjalan hidup selanjutnya membawa saya makin jauh meninggalkan kampung halaman. 

Pada tahun 1992, saya memperoleh pekerjaan pertama saya di Provinsi Kalimantan Barat. Tidak punya sanak saudara di sana, saya berangkat ke Pontianak via Jakarta dengan menompang bus. Pada zaman itu, hanya orang yang banyak uang yg dapat bepergian dengan pesawat udara.


Setelah seminggu tinggal di rumah saudara di Jakarta, dengan menumpang KM Lawit, saya melanjutkan perjalanan ke Pontianak, Ibukota Provinsi Kalimantan Barat. Karena keterbatasan dana, saya hanya mampu membeli tiket kelas ekonomi. Di kelas ekonomi, setiap penumpang akan memperoleh sebuah tempat tidur berukuran sekitar 1 x 2 meter. Tempat tidurnya memanjang. 

Satu tempat tidur dengan tempat tidur lainnya hanya dipisahkan oleh sebuah sekat setinggi jengkal orang dewasa. Kalau beruntung, kita bisa dapat kasur di atas tempat tidur. Kalau tidak, kita minta tolong untuk mencarikan kasur, dengan imbalan tertentu.

Di kapal kelas ekonomi, ada satu hal rutin yang harus kita jalani setiap hari, yaitu ikut antrian ketika jam makan. Sarapan pagi antri, makan siang antri, makan malam juga antri. Kalau berlama-lama masuk antrian, kita harus bersabar di antrian yang panjang. Kadang perlu waktu sampai 30 menit untuk mendapatkan jatah makan itu. Begitu sampai di tempat yang mirip loket pengiriman barang, kita akan diberikan paket makan dalam wadah yang agak besar, dimana telah dipisahkan sayur, nasi dan lauknya.

Di sebelah tempat tidur saya, ada pasangan paruh baya yang juga akan ke Pontianak. Dari percakapan saya dengan mereka, saya tahu kalau mereka berasal dari Aceh dan tujuan mereka ke Pontianak adalah untuk mengunjungi saudara di sana.

Merasa diri masih muda (saat itu usia saya masih 23 tahun) saya menawarkan diri untuk mengambilkan makanan untuk setiap jam makan tiba, sehingga mereka tidak perlu ikut antrian . Dengan senang hati mereka mengiyakan sambil mengucapkan terima kasih.

Jadi begitulah, setiap jam makan tiba saya akan ikut antrian dan mengambil jatah makan saya dan jatah makan mereka. Karena perjalanan dari Jakarta ke Pontianak dengan kapal laut memerlukan waktu sekitar 2 hari satu malam, akhirnya banyak waktu bagi kami untuk saling berbagi cerita dan saling mengenal.

Ibu itu menanyakan apa tujuan saya ke Pontianak, apakah nanti ada yang akan menjemput dan akan tinggal di mana selama di sana. Saya sampaikan bahwa saya ke Kalimantan Barat karena saya ditempat di sana, dan sudah ada teman yang bersedia menjemput saya dan membolehkan tinggal sementara dengannya.

Ketika tiba di pelabuhan kapal Sungai Kapuas Pontianak, hari sudah agak senja dan hujan turun. Si Ibu berkata :

"Nanti apabila yang menjemputmu tidak datang, ikut dengan Ibu aja dulu ke rumah saudara Ibu ya. Kasihan kamu nanti, ini sudah menjelang malam dan hujan pula"

Saya mengiyakan sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah turun dari kapal, si Ibu dan suaminya sudah dijemput oleh saudaranya. Sambil memegangi tas yang berisi dokumen-dokumen saya, si Ibu bilang supaya saya berkeliling mencari teman saya apakah datang menjemput atau tidak. Seingat saya, pada zaman itu, HP masih merupakan barang langka (atau belum diciptakan?). Jadi kalau mau menghubungi seseorang, biasanya harus melalui warung telepon.

Ternyata teman yang berjanji akan menjemput saya tidak datang. Belakang saya tahu alasannya, karena hujan lebat, sehingga dia tidak bisa keluar rumah.

Saya kembali ke si Ibu, dan menyampaikan kalau teman saya tidak bisa datang. Dengan ramah beliau mengajak saya ke rumah saudaranya, dan berjanji besok pagi-pagi dia akan minta tolong saudaranya untuk mengantar saya ke rumah teman saya.

Setiba di rumah saudaranya, dia memperkenalkan saya dengan tuan rumah dan minta izin supaya saya bisa bermalam di rumah mereka. Ternyata saudaranya juga adalah orang yang ramah dan baik. Mereka mempersilahkan saya untuk menempati kamar yang ada di lantai atas.

Esok hari setelah sarapan pagi, si Ibu meminta tolong pada salah satu anak saudaranya untuk mengantarkan saya ke rumah teman saya.

Pada saat sarapan itu si Ibu berkata demikian "Nak, awalnya saya tidak mengenal kamu, dan sayapun tidak tau kenapa saya begitu tergerak untuk menolongmu"

"Tapi saya yakin dan percaya, orang tua mu pastilah orang yang suka menolong orang lain"

"Mengapa ibu berkata seperti itu, dan dari mana ibu tahu tentang hal itu" jawab saya

"Karena kamu dapat pertolongan" katanya.

Saya tertegun. Ya,memang sepanjang ingatan saya, kedua orang tua saya adalah orang yang ringan tangan dalam menolong orang. Waktu saya masih kecil, saya masih ingat pada suatu hari ada 4 orang muda dan asing yang tiba di kampung kami entah dari mana. Tidak ada orang kampung yang peduli dengan mereka, bahkan sebagian berpikir kalau mereka adalah penjahat. 

Dipenuhi dengan rasa kasihan, orangtua saya menampung mereka di rumah dan dipekerjakan membantu  di ladang. Seingat saya, mereka tinggal di rumah kami sampai beberapa bulan, sebelum kembali pulang ke tempat mereka masing-masing yang entah di mana. Itulah salah satu contoh bagaimana orangtua saya menolong orang. Tentu masih banyak contoh lainnya.

Ketika orang tua menanam (kebaikan), saya sebagai anaknya memanen (kebaikan) dari orang lain. Keluarga yang saya ceritakan di atas, bagi saya adalah manusia baik yang digerakkan Tuhan untuk menolong saya.

Makassar, 25 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun