Artikel ini menurut saya membahas demonstrasi sebagai "bahasa rakyat" ketika suara atau masukan tak didengar melalui jalur resmi. Namun, ketika menjadi kerusuhan dan penjarahan, pembakaran, dan kerusakan fasilitas publik demonstrasi kehilangan rasionalitasnya. Sehingga kerusuhan dipahami bukan sekadar kriminalitas, melainkan hasil akumulasi kekecewaan, distorsi komunikasi antara rakyat dan elite, serta simbol-simbol kekuasaan yang melukai publik.
Mengenang tragedi Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang tewas dalam aksi demo, menjadi bukti bahwa rakyat kecil sering jadi korban. Sedangkan para elite malah melakukan arogansi seperti berjoged dan bahkan ada yang menyebut "tolol sedunia" sehingga memperdalam jurang komunikasi antara wakil rakyat dan masyarakat. Kerusuhan yang justru merusak fasilitas publik menunjukkan adanya krisis kesadaran kelompok akibat adanya perasaan rakyat yang tidak didengar oleh negara.
Solusi dari permasalahan tersebut antara lain: seharusnya para elite harus berhati-hati dalam komunikasi politik, negara kita juga perlu membuka ruang aspirasi yang nyata, para aparat mengedepankan pendekatan yang berjiwa sosial dan turun langsung ke masyarakat, dan masyarakat mengelola kemarahan secara positif.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI