Tetapi, perlakuan yang berubah oleh guru tersebut agaknya direspon secara positif oleh murid. Karena, kata teman guru, murid itu justru tidak berbuat usil lagi dan tidak banyak bicara seperti biasanya.
Dan, yang lebih daripada itu adalah murid tersebut lebih rajin. Dibuktikan dengan, misalnya, mengumpulkan tugas tepat waktu. Pekerjaan selalu selesai. Tidak seperti dulu-dulu.
Saya menduga perubahan sikap murid dari "kurang baik" menjadi "baik" itu di sebabkan oleh, pertama, guru memberi perlakuan yang berbeda. Dulunya, selalu diberi pertanyaan dan diberi kesempatan maju; Â sekarang, dibiarkan bahkan seolah diabaikan.
Kedua, ini yang tidak kalah pentingnya, guru menyatakan bahwa si murid tidak perlu meminta maaf atas kesalahannya, tetapi berubahlah berbuat baik. Selain itu, guru berpesan bahwa kesalahan yang dilakukan terhadap dirinya  jangan dilakukan terhadap guru yang lain.
Perihal tidak perlu meminta maaf atas kesalahannya didasari sebuah pemikiran bahwa untuk apa meminta maaf, kalau sesudah meminta maaf ternyata melakukan kesalahan yang sama. Jadi percuma alias sia-sia saja.
Oleh karena itu, disarankan (saja) untuk berubah berbuat baik. Ini dimaksudkan dengan berubah berbuat baik sudah dapat dimaknai sebagai bentuk pemaafan. Bahkan, inilah esensi permaafan itu. Dulu berbuat salah, sekarang tidak berbuat salah.
Saya berpikir bahwa cara demikian itu tentu tidak selalu mujarab untuk menangani murid yang berperilaku atau bersikap serupa. Tidak selalu. Tetapi, setidaknya, cara tersebut bisa untuk alternatif.
Untuk murid yang masih tergolong kanak-kanak, misalnya, tidak mungkin bisa diterapkan. Tentu demikian juga untuk murid sekolah dasar (SD). Karena mereka masih tergolong praremaja. Mereka belum bisa berpikir abstrak.
Sementara itu, murid kami SMP. Sudah termasuk remaja. Usia sekitar 13-15 tahun. Menurut Piaget, mereka sudah bisa berpikir abstrak. Misalnya, mereka sudah dapat mencerna kata-kata, merefleksi, hingga mengambil kesimpulan dan keputusan.
Tetapi, tentu saja, tidak setiap murid yang termasuk remaja, usia sekitar seperti yang sudah disebut di atas, memiliki tingkat berpikir yang sama. Sebab ada banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya.
Sehingga, sangat mungkin ada murid setingkat murid SMP, atau bahkan SMA/SMK dan yang sederajat, belum bisa berpikir abstrak. Jadi, sekalipun sudah remaja, bahkan melebihi remaja, masih ada yang berpikir kekanak-kanakan.