Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sebuah Kenangan di Kota Kudus....

19 Desember 2011   00:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:05 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_157214" align="aligncenter" width="640" caption="Masjid Menara Kudus, dari Google"][/caption]

Tidak sia-sia aku menempuh perjalanan satu setengah jam dari Semarang menuju Kudus, sebuah kota kecil namun ramai di wilayah Jawa Tengah, kemarin (Minggu 18 Desember 2011). Kota ini memiliki banyak kenangan bagiku.

Dulu semasa masih kuliah, aku sering mengunjungi kota Kudus untuk belajar berbagai ilmu kehidupan. Hingga sekarang, di kota ini masih ada para guru yang mengajariku berbagai untaian mutiara hikmah, dan membuatku menjadi tercerahkan. Sebagian sudah menghadap Allah, karena memang sudah sangat tua. Di sebuah Pondok Pesantren kecil, sederhana, namun penuh diliputi kedamaian, aku mereguk banyak hikmah di dalamnya. Menimba ilmu dari sumber mata air yang jernih. Kenangan yang tak terlupakan.

Menjadi “santri kalong” adalah salah satu kegiatanku semasa kuliah di UGM. Aku mengunjungi berbagai Pondok Pesantren tradisional, bertemu para kiyai, para guru, para ustadz yang teramat sangat sederhana. Ada Pesantren di Kudus, ada Pesantren di Pati, ada Pesantren di Salatiga, di Magelang, dan ada pula yang di Yogyakarta. Aku sangat senang menimba ilmu dan hikmah dari para guru yang tidak meminta balasan materi dari para santri. Mereka mengajar dengan hati. Menyentuh santri dengan penuh kelembutan.

Tanpa pamrih, tangan mereka sejuk, sesejuk air wudhu yang diambil para santri saat harus bangun jam dua dini hari untuk menunaikan shalat malam. Ini yang sangat aku rindukan di Kudus. Orang-orang salih itu, orang-orang ikhlas itu, guru-guru sederhana itu, telah memberikan pengajaran dan pendidikan yang sangat mendalam bagi para santri, termasuk santri kalong sepertiku.

Peninggalan Sunan Kudus di Masjid Menara

Saat menjadi “santri kalong” di sebuah Pesantren tradisional di Kudus waktu itu, aku biasa berjalan kaki mengelilingi sekitar Masjid Menara Kudus yang sangat bersejarah. Saya sering menyempatkan diri menunaikan shalat dan berlama-lama dzikir di masjid tua ini. Rasanya sejuk dan nyaman, melaksanakan ritual ibadah di sebuah masjid tua yang dikunjungi banyak peziarah dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari mancanegara.

Masjid Menara Kudussering disebut juga denganMasjid Al Aqsaatau Masjid Al Manar, konon dibangun oleh Sunan Kuduspada tahun 1549 Matau tahun 956 H. Salah satu cerita “kehebatan” masjid ini adalah digunakannya batu dari Baitul Maqdis, Palestina, sebagai batu pertama pembangunan masjid. Terletak di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus,berbentuk unik karena memiliki menarayang serupa bangunan candi.

Menara Kudus tampak merupakan kombinasi arsitektur Islam, Jawa, dan Hindu. Konon, ini merupakan refleksi toleransi beragama yang diajarkan Sunan Kudus yang masih terasa hingga sekarang. Di Kudus, kita sulit menemui makanan dengan bahan daging sapi. Sebab, Sunan Kudus pernah memberi ajaran agar masyarakat tidak memotong sapi sebagai hewan kurban, untuk menghormati masyarakat Hindu yang tidak memakan daging sapi.

Nasihat itu masih ditaati masyarakat sampai sekarang, dan menjadi tradisi yang dilestarikan turun temurun. Sebagai gantinya, masyarakat memilih memotong hewan kerbau untuk masakan atau kurban, daripada sapi. Karena itu, Kudus terkenal dengan soto kerbau, pindang kerbau, sop kerbau dan sate kerbau.

Garangasem Yang Segar di Kudus

Lebih dari sepuluh tahun terakhir aku tidak menginjakkan kaki di Kudus. Rasanya sudah sangat banyak yang berubah. Jalan utama dari Semarang menuju Kudus sekarang sudah tampak lebar, terdiri dari empat lajur. Jalannya juga halus, bahkan menjelang masuk kota Kudus sedang dibangun jalan beton, menggantikan aspal yang sering rusak karena tanah yang labil. Berbeda sekali dengan kondisi jalan sepuluh tahun lalu yang hanya dua lajur dan dua arah, sehingga terasa sempit.

Usai mengisi Seminar Keluarga di Gedung Wanita Ngasirah Kudus, panitia mengajak aku menikmati menu garangasem yang sangat lezat. Biasanya dulu aku menikmati pindang kerbau, soto kerbau, sop kerbau atau sate kerbau. Namun ada menu lain yang ditawarkan panitia, dan aku langsung setuju untuk mencobanya.

Benar-benar tidak rugi aku mengunjungi kota ini. Selain kembali bisa menemui para guru yang ada di Kudus, bertemu dengan masyarakat yang antusias mengikuti Seminar, juga bisa mencicipi kuliner yang sangat menggoda selera. Garangasem di warung ini berkonsep tanpa santan. Karena ada berbagai jenis garangasem, ada yang menggunakan kuah santan, ada yang kuah bening, ada pula yang tanpa kuah, berbentuk kental menggumpal karena menggunakan telur ayam.

Garangasem adalah masakan dari bahan baku ayam yang dimasak dengan cara dikukus menggunakan pembungkus daun pisang. Cara memasaknya sangat khas dan harus benar. Ayam mentah, dimasukkan ke dalam pembungkus daun pisang segar, kemudian ditambah kuah dan diberikan berbagai bumu secara langsung pada setiap bungkus garangasem. Dengan cara memasak seperti ini, rasa setiap bungkus tidak sama. Kadang ada yang terasa kurang asin, kadang ada yang lebih asin, dan seterusnya, karena bumbu dimasukkan sembari membungkus bahan.

Sudah lama aku tidak menikmati garangasem. Di Kudus, garangasem yang dihidangkan sangat panas dan pedas. Sangat segar dan membuatku berkeringat sangat deras. Aku menghabiskan dua porsi garangasem dan dua porsi nasi putih, untuk menuntaskan kerinduan dengan garangasem. Tampak warung ini mengerti cara membuat garangasem yang benar. Sejak garangasem dihidangkan di meja, aku langsung memeriksa dengan seksama bagaimana cara membungkus, dan aku menganggap lolos uji, artinya aku siap menikmati.

Setelah bungkus aku buka, tampak menu yang khas. Ayam kampung dipotong kecil, ada banyak tomat hijau dan cabai hijau bercampur cabai merah, menghiasi isi garangasem. Sayang kuahnya kurang banyak untuk ukuranku. Sayang pula tidak menggunakan belimbing kecil yang biasanya menjadi bumbu khas garangasem agar beraroma sedikit kecut. Di warung ini, diganti dengan sangat banyak tomat hijau.

Di Jakarta dan Yogyakarta, aku sering merasa tertipu oleh warung makan yang menyediakan menu garangasem. Aku menganggap mereka tidak mengerti cara memasak garangasem, sehingga rasanya sangat jauh dari standar selera pecinta garangasem. Mereka memasukkan semua bahan dan kuah ke dalam bungkus plastik, kemudian plastik ini dibungkus lagi bagian luarnya dengan daun pisang. Setelah itu dikukus. Jadi daun pisang ini hanya asesoris, lebih tepatnya lagi, alat tipuan untuk mengelabui para pecinta garangasem.

Sungguh aku sangat kecewa dengan akal-akal semacam itu, tampaklah mereka tidak mengerti apa kekhasan garangasem. Mereka tidak tahu kalau salah satu aroma yang enak muncul dari pembungkusnya, yaitu daun pisang. Begitu dibungkus plastik, semua bahan berinteraksi dengan bahan kimia. Apalagi kalau plastik daur ulang, wah semakin membahayakan kesehatan, dan merusak citarasa garangasem.

Di Kudus, aku menjumpai keaslian garangasem. Segar, pedas, sedap dan panas. Mak nyossss.... Keringatpun bercucuran membasahi seluruh tubuh.....


Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun