Seseorang bisa berteriak saat mengalami sesuatu yang sangat menyakitkan, misalnya jatuh tergelincir di jalan yang licin. Namun seseorang juga bisa berteriak saat mengalami sesuatu yang sangat menyenangkan, misalnya ketika diumumkan sebagai pemenang lomba.
Seseorang bisa menangis karena kesedihan yang mendalam, misalnya kehilangan orang yang sangat dicintai. Namun seseorang juga bisa menangis karena kebahagiaan yang mendalam, misalnya saat dipinang oleh lelaki pujaan hati.
Seseorang bisa tertawa karena sesuatu yang lucu dan menyenangkan. Namun seseorang juga bisa tertawa karena sesuatu yang memalukan.
Paradoks Kenikmatan dan Kesengsaraan
Begitulah, hidup manusia dipenuhi paradoks. Termasuk, paradoks dalam kenikmatan dan kesengsaraan. Untuk merasakan kenikmatan yang sempurna, manusia perlu merasakan kondisi yang sebaliknya.
Paul Bloom (2021) membuat istilah menarik, "The pleasures of pain and the pains of pleasure. Kenikmatan dari rasa sakit dan rasa sakit dari kenikmatan". Menurutnya, kehidupan manusia dipenuhi oleh hal-hal paradoks.
Sakit adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, maka sembuh dari sakit adalah hal yang sangat menyenangkan. Rupanya diperlukan rasa sakit agar kita bisa merasakan kesenangan yang lebih besar. Agar lebih bisa mensyukuri nikmat kesehatan. Jika tak pernah merasa sakit, sehat menjadi biasa saja. Bukan hal istimewa.
Lapar dan haus adalah kondisi yang tidak menyenangkan. Begitu mendapatkan makanan dan minuman, menjadi terasa sangat menyenangkan. Ternyata diperlukan lapar dan haus agar lebih bisa merasakan kenikmatan makan dan minum. Agar lebih bisa mensyukuri lezatnya makanan serta minuman. Jika kita tak pernah merasa haus dan lapar, rasa makan dan minum itu biasa saja.
Lelah itu kondisi yang tidak menyenangkan. Namun setelah berhasil istirahat, rasanya menjadi sangat menyenangkan. Diperlukan rasa lelah, agar istirahat lebih terasa nikmat. Kalau kita tak pernah lelah, istirahat menjadi sesuatu yang biasa saja. Bukan sebagai nikmat yang besar.
"Everyone knows that food never tastes so good as when you are hungry, lying on the sofa is blissful after a long run, and life itself is wonderful when you're leaving the dentist's office" (Paul Bloom, 2021).
Paul Bloom menyatakan, "Semua orang tahu bahwa makanan tidak pernah terasa lebih enak daripada saat Anda lapar, berbaring di sofa terasa menyenangkan setelah lari jauh, dan hidup terasa indah saat Anda meninggalkan ruang praktik dokter gigi".
Jadi, paradoks dalam kehidupan itu memberikan pesan yang mendalam. Bahwa dalam hidup kita harus bersedia menerima kondisi-kondisi yang tak sesuai keinginan. Agar saat berhasil mendapatkan kondisi yang sesuai keinginan, rasa bahagia dan syukur kita menjadi lebih besar. Menjadi lebih optimal.
Bagaimana Menikmati Ibadah Ramadan?
Puasa Ramadan selama sebulan memiliki sisi paradoks ini. Bahwa setelah lapar dan haus seharian, kita bahagia merasakan buka puasa. Bahwa setelah lapar dan haus selama sebulan, kita merasa bahagia saat hari raya tiba.
Tentu ada sisi kesedihan di hari raya, karena bulan mulia sudah meninggalkan kita. Namun secara umum, hari raya adalah hari untuk berbahagia. Kondisi kebahagiaan hari raya tak akan tercipta pada mereka yang tak ikut puasa sebulan lamanya.
Begitu pula kehidupan dunia dibanding akhirat. Kondisinya sering kali paradoks. Syaikh Ali Ath-Thanthawi menyatakan, "Jalan menuju surga permulaannya sulit. Namun jika mampu bersabar menanggung kesulitannya, engkau akan sampai pada tempat kenikmatan yang abadi. Sedangkan permulaan jalan menuju ke neraka itu mudah dan indah. Namun jika tertipu akan keindahannya, engkau akan sampai pada rumah penderitaan yang abadi."
Selamat menikmati haus dan laparnya puasa. Agar kelak mendapat kenikmatan surga. Selamat menikmati berlelah-lelahnya tarawih. Agar kelak selamat dari azab yang pedih dan perih.
Bahan Bacaan
Paul Bloom, The Pleasures of Pain and the Pains of Pleasure, https://behavioralscientist.org, 1 Nopember 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI