Setelah menempuh perjalanan panjang pernikahan, tak jarang muncul kebosanan dan kehambaran. Pada titik tertentu mulai mucul godaan untuk mengakhiri pernikahan karena sudah tidak tahan.
Bagi insan beriman, hendaknya mengembalikan pertama kali kepada nilai-nilai sakral pernikahan. Bahwa menikah adalah ibadah, menikah adalah ketaatan kepada aturan Allah. Dalam Al-Qur'an, akad nikah dinyatakan sebagai sebuah komitmen yang kokoh. Allah berfirman,
"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (QS. An-Nisa': 20).
"Dan bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu" (QS. An-Nisa': 21).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikutipkan pendapat dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Sa'id bin Jubair yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat) adalah akad nikah. Sedangkan Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mitsaqan ghalizha adalah mengambil dengan cara yang patut atau melepaskan dengan cara yang baik.
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, kata mitsaq adalah bentuk taukid, artinya menekanan atau penegasan dari sebuah janji. Mitsaq adalah komitmen, lebih dari sekedar janji. Sedangkan lafal ghalizha berasal dari kata ghilzh yang artinya kuat, berat, tegas, kokoh. Maka mitsaqan ghalizha artinya komitmen yang kuat lagi kokoh.
Komponen Komitmen
Komitmen merupakan suatu keadaan batin untuk tetap mempertahankan hubungan yang meliputi ketergantungan dan rasa percaya bahwa individu tidak akan meninggalkan hubungan tersebut (Dyah Astorini Wulandari, 2009). Dalam sebuah komitmen, ada dimensi saling ketergantungan, dan dimensi kepercayaan satu dengan yang lain.
Caryl E. Rusbult (2011) memiliki perspektif yang lebih luas. Menurut Rusbult, ukuran dari komitmen adalah seberapa besar kecenderungan seseorang untuk melanjutkan hubungan dengan pasangannya, memandang masa depan bersama pasangannya, dan adanya kelekatan psikologis satu sama lain.
Sedangkan Eli J. Finkel (2014) memandang komitmen dalam tiga komponen. Pertama, kecenderungan untuk tetap bertahan dan menjaga hubungan. Ini adalah komponen komitmen yang paling primitif, karena tidak melibatkan orientasi yang lebih besar maupun kepentingan interpersonal yang lebih besar.