"Conflict arises when the newcomer and the more experienced matriarch wrestle over whose way is best. There's a concern that the values and norms of a different culture will take your son and your grandchildren away from the values and norms embedded in your own family" --Jumana Farouky, 2008.
Semenjak acara stand-up komedi mulai marak di stasiun televisi, lelucon tentang mertua semakin mengemuka. Padahal, menurut Jumana Farouky (2008), itu sama sekali bukan lelucon untuk ditertawakan.
Farouky mengutip penelitian yang dilakukan psikolog Inggris, yang menunjukkan bahwa menantu perempuan memiliki lebih banyak keluhan ketika mengunjungi rumah ibu mertua, dan mereka tidak tertawa. Artinya, situasi terkait mertua bukanlah lawakan dan komedi yang layak ditertawakan. Justru ini menjadi sesuatu yang menakutkan.
Dalam buku "What Do You Want from Me?" (2009), Terri Apter, seorang psikolog di Universitas Cambridge, melakukan studi terhadap berbagai penelitian yang sudah dilakukan banyak ahli dalam kurun 20 tahun terakhir. Apter menyatakan bahwa hubungan antara menantu perempuan dengan ibu mertua bisa jauh lebih tegang daripada hubungan seorang laki-laki dan ibu mertuanya.
"Terri After speaking with 163 people, Apter discovered that more than 60% of women felt that friction with their husband's mother had caused them long-term stress. Despite all the gags, only 15% of men complained that their mothers-in-law caused them headaches" --Jumana Farouky, 2008.
Setelah melakukan wawancara terhadap 163 orang, Apter menemukan bahwa lebih dari 60% wanita merasakan konflik dengan ibu mertua sehingga menyebabkan mereka stres dalam jangka panjang. Ditemukan hanya 15% laki-laki yang mengeluhkan hubungan dengan ibu mertuanya.
Titik-Titik Perbedaan
Bagi menantu perempuan, titik konflik yang paling umum adalah persoalan-persoalan yang bercorak  tradisional atau konvensional, seperti masalah pengasuhan anak dan pekerjaan rumah. Konflik muncul ketika menantu perempuan sebagai pendatang baru dan mertua p[erempuan sebagai ibu pemimpin bergumul tentang cara mana yang terbaik.
"Ada kekhawatiran bahwa nilai dan norma budaya yang berbeda akan menjauhkan anak lelaki dan cucu dari nilai dan norma yang tertanam dalam keluarga Anda sendiri," ungkap Apter. "Biasanya ini adalah persoalan yang terkait perbedaan etnis atau perbedaan agama", lanjut Apter.
"The most common flash points were issues traditionally considered maternal ones: child care and housework"Â --Jumana Farouky, 2008.
Bahkan terkadang konflik terjadi tentang tugas siapa dan bagaimana cara menyetrika pakaian? Mertua ingin mengajarkan bagaiamana cara menyeterika yang baik, namun menantu tidak suka diintervensai sampai soal cara menyeterika pakaian.
Ternyata persoalannya tidak semata soal teknis menyeterika. Namun lebih dalam daripada itu. "Dari perempuan generasi lebih tua (mertua), ada perasaan dijauhkan dari hubungan," kata Apter. "Sedangkan dari generasi muda (menantu), muncul rasa tidak nyaman atau gangguan secara terus-menerus."
"From women of the older generation, there was a sense of being frozen out of the relationship. And from the younger generation, a sense of constant disapproval or intrusion" --Jumana Farouky, 2008