Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejauh Mana Intervensi Mertua?

6 Agustus 2021   12:00 Diperbarui: 6 Agustus 2021   17:50 1343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.focusonthefamily.com

"Mertua saya sangat tergantung dengan suami. Segala sesuatu harus diurus oleh suami saya. Termasuk dalam urusan dana. Waktu, resources dan perhatian suami saya habis untuk orangtuanya", ujar seorang istri.

Seorang anak lelaki yang paling berhasil dalam sebuah keluarga, kadang menjadi tumpuan harapan dari semua anggota keluarga tersebut. Ayah dan ibunya bergantung dalam urusan finansial dan keputusan.

Hal ini berkebalikan dengan poin sebelumnya. Jika ada sebagian mertua yang tidak percaya kepada anak dan menantunya, maka ada mertua yang bergantung kepada anaknya. Segala sesuatu harus disampaikan kepada sang anak, sehingga mengganggu kehidupan keluarga anak dan menantunya.

  • Jangan terlalu detail

"Ibu mertua saya selalu ingin tahu segala sesuatu tentang rumah tangga saya. Berapa banyak saya mendapat uang dari suami, bagaimana saya menggunakan uang itu, semua ditanya", keluh seorang istri.

Intervensi yang terlalu detail, dalam bentuk pertanyaan apalagi 'laporan keuangan', membuat tidak nyaman menantu. Dirinya merasa tidak dipercaya, dan privasinya terganggu.

Menantu merasa dicurigai dan dimata-matai oleh mertua. Sampai sang menantu menjadi depresi oleh tuntutan mertua yang selalu bertanya tentang segala sesuatu. Pengetahuan mertua yang terlalu detail ini, justru bisa membuat dirinya terpancing untuk melakukan intervensi yang lebih dalam lagi.

  • Menghormati keputusan

"Semua yang kami putuskan selalu ditolak dan ditentang oleh mertua. Kami tidak bisa mengambil keputusan untuk keluarga kami sendiri", ujar seorang istri.

Sebagai sebuah keluarga baru, wajar jika masih belajar. Semua sedang berproses menuju kondisi yang lebih baik. Mereka tengah belajar membuat keputusan terbaik untuk keluarga baru tersebut, maka hargailah.

Sepanjang keputusan tersebut tidak melanggar prinsip agama, etika, dan hukum yang berlaku, hendaknya mertua bisa menghormati keputusan keluarga menantu. Jangan gunakan hak veto yang membuat anak dan menantu merasa tidak berdaya.

  • Menasehati dalam kebaikan

"Omongan mertua saya sangat kasar. Saya sangat khawatir bahwa itu menjadi doa-doa untuk kami. Mengapa ia tidak bisa memilih omongan yang lebih baik dan positif?" keluh seorang istri.

Secara tidak sadar, ada mertua yang senang memilih kosa kata kasar dan jelek. Seperti misalnya, "Dasar bego, dasar dungu, dasar menantu bejat", dan yang semacamnya. Tentu saja ucapan itu menyakiti perasaan sang menantu. Bukan hanya itu, tetapi juga dikhawatirkan ucapan itu bermakna mendoakan dan mendorong agar sang menantu menjadi bego, dungu atau bejat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun