Perasaan yang campur-aduk, tak mungkin bisa dipaparkan dalam kata-kata. Hanya air mata yang menghadirkan berjuta tanya dalam benak, emosi yang hanya bisa dirasakan Minarti sendiri.
"Kenapa baru sekarang? Ke mana saja Ibu selama belasan tahun ini? Kenapa Ibu meninggalkan aku dan bapak? Â Kenapa, Bu?" suaranya bergetar menahan gejolak emosi yang menghantam batin Minarti.
"Ma..., Maaf Nduk. Jangan hakimi ibu seperti itu," Surti terbata, isak tangis menyela di setiap katanya.
Minarti ingin sekali memeluk perempuan di hadapannya itu, ia yang telah belasan tahun dirindukannya. Tapi, ada sesuatu yang menghalanginya, ada perasaan yang sulit ia kendalikan.
"Apa ibu pernah memikirkan aku seperti aku merindukan Ibu selama ini?"
"Ah, Nduk..., Ibu mana yang tak merasakan kerinduan pada anak-anaknya ketika terpisah?"
"Lantas kenapa Ibu tak mencariku? Atau setidaknya menanyakan kabar."
"Maaf, maafkan ibu, Nduk. Ibu salah langkah dan tertipu laki-laki itu. Ibu malu mau mencari karena keadaan ibu tidak lebih baik dari saat bersama kalian."
Air mata Surti semakin deras, perasaan bersalah dan penyesalan menusuk batinnya.
"Sudahlah, Dik, jangan kau teruskan," aku terpaksa menyela perdebatan mereka.
Minarti menoleh, kemudian menghampiriku yang sedari tadi di pojok ruangan tak ingin menganggu pertemuan mereka.