Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non-obligatoir.[5]
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.[6] Lebih lanjut, terdapat 4 macam-macam perjanjian obligatoir:[7]
- Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
- Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi kepada satu pihak. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi antara kedua belah pihak.
- Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
- Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian di mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Sementara perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan prestasi.
- Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil
- Perjanjian konsensuil, yaitu perjanjian yang mengikat sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan objek perjanjian atau bendanya. Adapun perjanjian formil adalah perjanjian yang terikat dengan formalitas tertentu, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran
- Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama.
Sedangkan perjanjian non-obligatoir merupakan perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.[8] Macam-macam perjanjian non-obligatoir ini terbagi atas:[9]
- Zakelijk overeenkomst, yaitu perjanjian yang menetapkan dipidindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
- Bevifs overeenkomst, yaitu perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
- Liberatoir overeenkomst, yaitu perjanjian ketika seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
- Vaststelling overenkomst, yaitu perjanjian untuk mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan.
Penggunaan Bahasa dalam Perjanjian
Berangkat dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang.
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, Pasal 31 UU 24/2009 menyatakan secara gamblang bahwa:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
Melalui ketentuan ini jelas bahwa untuk kontrak yang para pihaknya adalah warga negara Indonesia wajib untuk menggunakan bahasa Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 ini bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut batal demi hukum perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur 'sebab atau kausa yang halal' sebagaimana disyaratkan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata.
Demikian jawaban dari kami terkait dasar hukum perjanjian, macam-macam perjanjian, dan persoalan bahasa sebagaimana ditanyakan. Semoga bermanfaat.
Â
Dasar Hukum: