Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 3: Pancaran Darah di Tengah Telaga

31 Januari 2011   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:01 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

DAUN bambu bergerisik menyapa hari. Udara dingin masuk melalui dinding dan kisi-kisi jendela. Kiran membuka matanya. Diam tak bergerak di atas pembaringan, dia mencoba menghilangkan gambar- gambar yang berkelebatan di depan matanya. Ditutupnya mata. Tak hilang. Dibukanya mata, juga tak membantu. Gambar serupa apa yang tadi malam dilihatnya dalam mimpi terus menari- nari dalam angannya... Gambar sebuah telaga yang sangat bening, damai dan sunyi yang sungguh bahkan dalam tidurpun dapat membuatnya merasa sangat nyaman. Telaga biru muda kehijauan yang sangat tenang. Yang sama sekali tak menunjukkan riak di permukaan tapi... Memancarkan darah?

***

Mentari bergerak ke arah Barat. Senja menjelang. Kiran membasuh mukanya dengan air dari pancuran. Air dingin itu terasa sejuk menyentuh muka. Dan gambar telaga itu mengelebat lagi, membuatnya bertanya- tanya dalam hati, apakah gerangan yang sedang terjadi. Seharian, tak ada hal yang dapat dihubungkannya dengan gambar yang berulang kali muncul di pelupuk matanya tersebut. Pagi berlalu seperti hari- hari yang sebelumnya. Pusat perawatan kesehatan untuk rakyat miskin yang dikelola oleh Kiran ramai seperti biasanya pagi itu. Kiran memeriksa dan mengobati beberapa orang anak kecil yang sakit perut. Juga anak lain yang kakinya keseleo. Beberapa orang dewasa datang dengan keluhan sakit kepala. Yang lain sakit di area pencernaannya. Ada juga bayi yang dibawa berobat ke sana. Hal yang selalu menyenangkan Kiran. Bayi- bayi seakan selalu membawa energi positif yang kemudian terpancar ke sekitarnya. Kiran seringkali berlama- lama mengobati para makhluk mungil tersebut semata karena dia senang mengajak bayi- bayi itu bermain dan bercanda saat melakukan terapi pada mereka. Seusai melakukan terapi, pada siang hari Kiran melanjutkan kegiatannya dengan meramu jamu- jamuan. Kerajaan Wilwatikta (Majapahit) memiliki wilayah luas dan tanah subur yang menghasilkan banyak barang dagangan seperti lada, gading, timah, besi, intan, cengeh, pala, kapas dan kayu cendana yang biasa dijual ke kerajaan tetangga.

Selain menjual barang yang berasal dari kerajaannya sendiri, Kerajaan Majapahit juga berfungsi sebagai pedagang perantara yang membawa hasil bumi dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Dari kerajaan yang satu ke kerajaan yang lain. Hubungan baik Majapahit dengan para tetangganya yaitu Kerajaan Cina, Ayodya, Champa dan Kamboja ini menguntungkan Kiran, karena dia dapat memperoleh beberapa bahan baku yang hanya terdapat di kerajaan para tetangga tersebut untuk digunakan sebagai campuran ramuan yang dibuatnya. Usai meramu beberapa macam obat, Kiran kemudian bermaksud menyegarkan diri dengan membasuh tubuhnya di pancuran, salah satu tempat yang paling disukainya. Letak Dukuh Wening dimana Kiran tinggal lebih tinggi dari daerah lain di sekitarnya, sementara pusat pengobatannya berada di tempat paling tinggi di dukuh tersebut. Karenanya, terutama dari pancuran yang terletak di luar, Kiran dapat memandang bebas ke tempat jauh. Selain kehijauan pepohonan, dia juga dapat melihat bangunan- bangunan candi serta petirtaan, tempat pemandian suci yang banyak terdapat di sekitar Kotaraja, Trowulan.

***

Kiran menjulurkan tangannya, menampung air yang mengalir dari pancuran bambu. Menikmati kesejukan yang mengalir yang sayangnya tak lama dapat dinikmati sebab terputus oleh suara gaduh. Suara beberapa orang lelaki. Kalimat- kalimat tak jelas dan tergesa. Lalu namanya disebut, di dalam kalimat yang menanyakan keberadaannya. Kirana? Kiran bergegas meninggalkan pancuran, menuju pendopo di depan pusat pengobatannya. Biasanya jika namanya disebutkan secara lengkap seperti itu, maka situasi mendesaklah yang sedang terjadi. Dan apa yang kemudian dilihatnya di pendopo sama sekali bukan hal yang menyenang hati... Seorang lelaki bersimbah darah terbaring disana. Beberapa orang lelaki lain berdiri di sekitarnya. Lelaki yang terbaring pucat, sangat pucat. Kiran menatapnya dan hampir tak menemukan aura kehidupan. Kiran mendekat. Sentuhan pertama yang dilakukannya juga tak menggembirakan. Tubuh lelaki itu amat dingin. Kiran menempelkan telapak tangannya di dada sang lelaki, mengalirkan energi hangat ke pusat kehidupan, jantung lelaki tersebut, sementara pada saat yang sama menanyakan beberapa hal kepada empat orang laki- laki yang tadi mengantarkan orang yang sedang diobatinya ini. Tidak, mereka tidak tahu siapa lelaki ini, begitu jawab keempatnya. Kiran mengenal keempat orang pengantar itu. Mereka penduduk Dukuh Wening. Tapi lelaki yang sedang diobatinya ini memang bukan. Para pengantar itu bercerita bahwa senja itu, saat pulang dari ladang mereka menemukan sesosok tubuh yang memegang sebuah pedang terbaring di rerumputan. Karena mendapati bahwa sosok itu masih bernapas walau terputus- putus dan sangat lemah, keempatnya memutuskan untuk membopong sosok tak dikenal tersebut ke pusat pengobatan milik Kiran. Kiran mengangguk tanpa suara. Memberikan isyarat bahwa dia mengerti apa yang diceritakan oleh para pengantar tersebut dan menunjuk ke pojok, menawarkan minuman pada mereka. Keempatnya tak menolak. Mereka tahu bahwa di pojok pendopo tersebut selalu tersedia beberapa buah teko dan cangkir yang memang disediakan untuk siapapun yang kehausan. Tak hanya orang yang berobat, air yang tersedia itu juga biasa diminum oleh siapapun yang sedang melintas di sana dan kehausan. Sementara itu, Kiran terus memusatkan perhatiannya pada lelaki yang terbaring tak berdaya di depannya. Walau tampak sangat pucat, ketampanan lelaki ini tampak sangat jelas. Dan mata batin Kiran dengan segera dapat menakar bahwa tak hanya tampan, lelaki inipun bening hati. Udara hangat terus dialirkan Kiran masuk langsung ke jantung lelaki tampan yang entah siapa namanya itu sementara dia meneliti tubuh pasiennya itu. Mata Kiran menangkap beberapa gores luka di tubuh lelaki tersebut dan dia sungguh tak menyukai apa yang dilihatnya. Garis memanjang itu pasti berasal dari Cakar Mayat Beku. Lebam biru di dekatnya, tak bisa lain, hanya dapat dihasilkan oleh hantaman Ajian Waringin Sungsang. Lelaki ini baru saja bertempur melawan Bhayangkara Biru, pikir Kiran. Tapi dia tidak mati. Kejadian yang amat langka. Kiran tahu, para jagoan yang tergabung di Bhayangkara Biru bukan jagoan biasa. Mereka adalah jagoan pilihan Kerajaan Majapahit. Melihat jumlah dan letak lukanya, Kiran yakin bahwa lelaki ini tak hanya melawan satu orang saja jagoan Bhayangkara Biru. Luka- luka itu pasti berasal dari serangan beberapa orang sekaligus. Dan dia masih hidup… Artinya, laki- laki yang sedang diobatinya itu juga bukan orang biasa. Kiran dengan segera mengerti, peristiwa yang terjadi pada laki- laki dihadapannya inilah yang berhubungan dengan mimpinya tentang telaga tenang berwarna biru kehijauan yang memancarkan darah itu... (bersambung) ** gambar diambil dari: www.faqs.org **

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun