Zahira, kamu kini sudah memasuki bulan keempat usiamu. Waktu seperti berlari, tapi tawamu membuat segalanya terasa berjalan perlahan.
Dua kali sudah kamu saya bonceng naik motor ke rumah nenekmu di Maros. Dua kali pula dada saya dipenuhi antara takut dan lega.
Takut karena membonceng bayi mungil di tengah jalanan Makassar yang kadang seperti arena balap liar. Tapi juga lega, karena saya ingin kamu tahu sejak dini, bahwa dunia ini tidak hanya berupa mainan gantung dan lagu pengantar tidur.
Saya ingin kamu mengenal jalan raya.
Jalan yang tidak selalu ramah. Jalan yang berlubang dan macet. Jalan yang kadang jadi metafora kehidupan. Dan jalan itu pula yang telah menjadi saksi dua hal: perjalanan hidupmu, dan sejarah kecil ayahmu dengan motor yang menggendongmu.
Mungkin kamu belum tahu, Nak. Tapi motor yang kau duduki itu bukan sembarang motor. Ia bukan hanya alat transportasi. Ia adalah saksi bisu pernikahan saya dan ibumu.
Tepat dua hari setelah kami menikah, saya mencicil motor itu. Sebuah keputusan impulsif tapi penuh keyakinan, seperti kebanyakan keputusan laki-laki yang baru saja menyandang gelar suami.
Bayangkan, baru saja selesai mencuci baju sisa resepsi, saya sudah duduk di dealer motor, menandatangani surat cicilan dengan wajah penuh optimisme, meski rekening tabungan seperti perut sedang puasa.
Tapi saya yakin, motor itu akan menjadi kendaraan bukan hanya fisik, tapi juga simbolis. Ia akan mengantar saya ke tempat kerja, ke pasar, ke rumah mertua, ke puskesmas, ke masjid, dan ke banyak titik dalam hidup saya yang baru: rumah tangga.
Dan hari ini, motor itu membawa kamu. Anak dari perempuan yang dulu saya bonceng pertama kali sebagai istri. Ada keharuan yang tak bisa diucapkan ketika saya melihat kamu tertidur di boncengan depan, kepala mungilmu bersandar ke dada saya, seolah mengatakan: "Ayah, lanjutkan. Aku percaya."
Kamu mungkin belum paham, Nak. Tapi di setiap kilometer yang kita tempuh, ada cerita yang ikut bergerak.