Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Pendidikan Nasional dan Parade Kepintaran Palsu

2 Mei 2025   20:42 Diperbarui: 2 Mei 2025   20:42 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Kita terlalu sibuk menyalahkan anak-anak. Padahal anak-anak hanya cermin. Dan siapa yang berdiri di depan cermin itu? Kita semua---guru, orang tua, dan pemerintah. Kalau pantulan di cermin tampak seram, mungkin bukan cerminnya yang perlu diganti, tapi wajah kita yang perlu ditata ulang.

Yang kita butuhkan bukan tambal sulam kebijakan, tapi keberanian untuk memperbaiki fondasi. Pendidikan harus kembali pada semangat: membentuk manusia. Bukan sekadar pekerja, apalagi penghafal SOP. Kita butuh kurikulum yang membuka ruang bertanya, bukan sekadar menjawab soal pilihan ganda.

Guru harus kembali dimuliakan, bukan hanya lewat ucapan di mimbar peringatan Hari Pendidikan Nasional, tapi lewat kesejahteraan yang riil. Gaji layak, jam kerja manusiawi, dan perlindungan dari kekerasan verbal---baik dari siswa, orang tua, maupun atasan birokratis yang tiap minggu minta laporan.

Dan anak-anak? Beri mereka ruang untuk gagal. Jangan semua kesalahan dianggap sebagai dosa besar. Kalau semua siswa harus sempurna, maka manusia akan punah. Karena inovasi lahir bukan dari ketakutan dihukum, tapi dari keberanian untuk salah dan belajar ulang.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya jadi hari refleksi.

Tapi seringkali berubah jadi pesta simbolik. Spanduk, kue tumpeng, lomba pidato, dan selfie massal. Sementara substansi dibiarkan terbang bersama balon harapan yang dilepas ke langit---tanpa arah, tanpa kendali, dan kadang pecah sebelum sampai awan.

Tahun ini, mari kita ubah. Bukan dengan perayaan, tapi dengan pengakuan. Bahwa kita masih punya PR besar. Bahwa anak-anak kita tidak butuh barak, tapi butuh pelukan dan kesempatan. Bahwa guru tidak butuh jargon, tapi butuh dukungan. Dan bahwa pendidikan tidak bisa diselamatkan dengan sekadar membuat kurikulum baru setiap kali menteri berganti.

Sebab, kalau terus begini, jangan heran jika suatu saat nanti, Hari Pendidikan Nasional dirayakan bukan dengan hormat bendera, tapi dengan parade mantan siswa yang menuntut balas---karena dulu pernah disuruh ikut apel pagi sambil lapar, dipaksa menghafal visi misi sekolah, dan disuapi nasi bergizi yang kemudian jadi berita kriminal.

Maka, di tengah upacara Hari Pendidikan Nasional yang semakin semarak dengan baliho dan jargon tiga warna, izinkan kami bertanya satu hal sederhana: jika pendidikan adalah harapan bangsa, mengapa kita menanganinya seperti menangani acara ulang tahun RT?

Dengan semangat setengah hati, anggaran setengah jadi, dan kebijakan yang---maaf---sering setengah waras.

Sebab, selama sistem ini lebih tertarik memindahkan siswa ke barak ketimbang mendekatkan mereka ke buku, selama makanan bergizi lebih cepat kadaluarsa daripada proses evaluasinya, dan selama guru lebih takut pada spreadsheet daripada muridnya sendiri---maka pendidikan kita tak sedang merdeka. Ia sedang tersesat di simpang birokrasi dan basa-basi.

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Semoga kita segera sadar, bahwa mendidik itu bukan pekerjaan tukang, tapi panggilan jiwa. Dan jiwa-jiwa tak bisa dibentuk dengan teriakan, tapi dengan keteladanan, kelembutan, dan sesekali: tertawa getir sambil membaca kolom ini. Hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun