Mohon tunggu...
Sahyul Pahmi
Sahyul Pahmi Mohon Tunggu... Masih Belajar Menjadi Manusia

Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang ingin menjadi kenangan. Email: fahmisahyul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Pendidikan Nasional dan Parade Kepintaran Palsu

2 Mei 2025   20:42 Diperbarui: 2 Mei 2025   20:42 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: Dokumentasi Pribadi Hasil Generate AI/chatgpt.com

Setiap tanggal 2 Mei, kita ramai-ramai menyanyikan lagu "Hymne Guru" dengan semangat seperti sedang ikut audisi Indonesian Idol. Anak-anak disuruh baris di lapangan, sementara guru-guru memakai batik seragam, berdiri di bawah matahari yang tidak paham makna toleransi suhu. Semua tampak indah, sampai kita sadar bahwa ini hanya upacara. Setelah itu, semuanya kembali ke rutinitas: anak-anak ke ponsel, guru ke lembar presensi, dan kepala dinas ke hotel untuk rapat evaluasi bertema "Merdeka Belajar Tapi Tetap Terpantau".

Di balik kemeriahan upacara,

pendidikan kita sedang megap-megap. Bukan karena tidak punya kurikulum, tapi karena terlalu banyak kurikulum---dengan filosofi pendidikan yang lebih rumit dari status hubungan Gen Z. Kurikulum berubah seperti algoritma TikTok, dan guru dipaksa mengejar inovasi sambil membetulkan kipas angin kelas yang bunyinya seperti suara pengadilan akhirat.

Pemerintah Jawa Barat, dalam upaya kreatif menyelesaikan kenakalan remaja, sempat mewacanakan solusi setingkat Avengers: anak-anak yang nakal akan dikirim ke barak militer. Barangkali mereka berpikir, kalau guru tak bisa mendidik, maka sersan lah yang bisa. Dengan pendekatan ini, kita tak perlu lagi "guru penggerak"---cukup "guru bersenjata".

Iman Zanatul Haeri dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dengan tenang menyejukkan suasana: "Anak-anak kita ini masyarakat sipil." Tapi tenang, masyarakat kita selalu punya cadangan istilah: barak bisa diganti jadi Sekolah Semi-Militer Berbasis Karakter Bangsa. Judulnya panjang, isinya tetap push-up dan semprot semangat nasionalisme sambil nyanyi Mars.

Tapi, sabar dulu. Belum tuntas soal anak nakal dan barak, kita sudah disambut skandal lain: pelecehan seksual oleh guru, murid menganiaya gurunya, dan guru yang berubah jadi influencer motivasi karena lebih banyak honor di Instagram ketimbang di sekolah.

Sementara itu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Badan Gizi Nasional (BGN) yang digadang-gadang sebagai gizi untuk masa depan, berubah jadi gizi penuh drama. Di Batang, 60 siswa keracunan massal setelah menyantap menu yang, katanya, sudah memenuhi standar kesehatan. Mungkin kita lupa, standar siapa dulu yang dipakai? Apakah standar itu diuji di laboratorium, atau cukup dengan ucapan 'Aamiin'?

Anggota DPR Netty Prasetiyani mengingatkan bahwa MBG ini seharusnya program sakral untuk generasi unggul. Tapi kenyataannya, dapur MBG di Kalibata malah ditutup karena BGN belum bayar hampir Rp1 miliar. Kita pun mulai bertanya-tanya: apakah yang gratis itu benar-benar bergizi, atau bergizi hanya dalam anggaran?

Dan jangan tanya soal evaluasi. Evaluasi di negeri ini lebih seperti ritual pencitraan digital. Dulu ada Ujian Nasional, kini diganti Asesmen Nasional, lalu ditambah dengan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, yang dalam praktiknya kadang cuma mengganti nama ekskul pramuka dengan PowerPoint lebih banyak.

Pendidikan seperti ini tak menghasilkan pemikir,

melainkan penghafal template. Kita ajarkan siswa menghafal 5 nilai Pancasila, tapi tidak menyediakan ruang dialog. Kita tuntut mereka disiplin, tapi tidak beri mereka ruang untuk berpendapat. Lalu kita kaget saat anak-anak ini tumbuh jadi generasi pasif---atau justru agresif dalam diam.

Lihat saja fenomena siswa melawan guru. Ada yang memukul, melempar kursi, atau memaki gurunya dengan kata-kata yang membuat kamus KBBI harus minta maaf. Tapi siapa yang salah? Anak-anak itu produk dari lingkungan yang tak memberi teladan. Dari sistem yang lebih suka mengatur barisan ketimbang membuka pikiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun