Saya bengong. 'Maksudnya?'
'Ya, harga aslinya kan sudah dinaikkan. Gratisannya tuh cuma ilusi. Bapak nggak dikasih gratis, cuma dikasih perasaan menang.'
Saya terdiam. Di balik seragamnya yang biasa-biasa saja, rupanya kasir ini seorang filsuf.
Dia lanjut, 'Kalau nggak ada promo beli satu gratis satu, siapa yang mau beli sebanyak itu? Bapak aja mungkin cuma beli satu bungkus. Dengan promo, bapak bawa pulang dua, padahal harga aslinya sama aja.'
Saya menelan ludah, mencoba tetap terlihat pintar. 'Tapi kan, saya jadi hemat?'
Kasir tersenyum sinis. 'Hemat? Iya, hemat stok di gudang mereka. Bapak cuma bantu ngurangin barang mereka yang numpuk. Lagian, bayi bapak butuh tisu basah sebanyak itu?'
Saya mau jawab, tapi kok ragu. Ya, kadang bayi saya baru habis setengah bungkus, tapi saya udah beli dua lagi. Cuma karena promonya menarik.
Kasir menutup argumennya dengan satu kalimat pamungkas:
'Bapak nggak beli barang. Bapak beli rasa aman.'
Di perjalanan pulang, kata-kata kasir itu berputar-putar di kepala saya. Beli rasa aman. Mungkin benar. Beli tisu basah itu bukan cuma soal membersihkan bayi, tapi membersihkan rasa bersalah. Rasa takut kalau stok habis di tengah malam. Rasa takut jadi orang tua yang tidak siap.
Industri tahu betul cara memainkan rasa takut kita. Mereka kasih kita promo, seolah-olah bilang: 'Yuk, jadi orang tua yang bertanggung jawab. Stok lebih baik kebanyakan daripada kekurangan.'