Saya sudah hafal betul rute menuju rak bayi di minimarket dekat rumah. Belok kanan, lurus sedikit, belok kiri, dan... voila, deretan tisu basah tersusun rapi, seolah menunggu saya datang setiap minggu.
Ada hal yang selalu sama setiap saya berhenti di depan rak itu: beli 1 gratis 1. Entah kenapa, promo itu seperti ritual wajib. Dari merek A sampai Z, semua kompak. Beli 1, gratis 1. Awalnya saya senang. Siapa sih yang nggak doyan gratisan? Tapi lama-lama, saya curiga. Ini perusahaan sudah kebanyakan untung, atau memang tisu basah ini sebenarnya nggak semahal itu?
Saya berdiri lama di depan rak, sambil membolak-balik kemasan. Melihat embel-embel 'hypoallergenic', 'alcohol-free', dan jargon-jargon lain yang entah beneran penting atau cuma bikin harga naik dua kali lipat.
Di sinilah pertanyaan eksistensial itu muncul:
kenapa sih tisu basah bayi selalu beli 1 gratis 1?
Pikiran saya mulai liar. Mungkin perusahaan tisu basah itu sudah terlalu banyak cuan, sampai bingung mau ngapain lagi. Atau mungkin, sebaliknya, mereka sebenarnya butuh kita beli lebih banyak, biar gudang nggak penuh dan omzet tetap muter.
Kalau ini film Hollywood, saya membayangkan ada ruang rapat besar berisi para bos tisu basah. Mereka berkumpul, saling menatap, lalu memutuskan: 'Kita kasih promo beli 1 gratis 1, biar para bapak-bapak kayak dia mikir ini penawaran spesial. Padahal, itu harga normalnya.'
Di tengah lamunan itu, saya bawa dua pak tisu basah ke kasir. Beli satu, gratis satu. Kasirnya senyum standar, wajahnya entah lelah atau pasrah. Lalu, saya lontarkan pertanyaan iseng yang sudah lama menggelayut di kepala:
'Mas, kenapa sih tisu basah bayi selalu beli satu gratis satu? Perusahaan kalian udah kebanyakan untung, ya?'
Kasir berhenti sejenak, menatap saya. Senyumnya tetap standar, tapi matanya tampak menilai. Seolah-olah dia sedang mengukur seberapa kosong otak saya hari ini.
Lalu, dia jawab dengan datar, 'Bapak kira gratisan itu beneran gratis?'