Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Sawit Indonesia Perlu Lakukan Ini Sebelum Gugat Uni Eropa ke WTO

23 Mei 2019   01:55 Diperbarui: 23 Mei 2019   02:51 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Karena dengan sertifikasi (ISPO) sudah menjadi bukti bahwa pola perkebunan kelapa sawit yang dilakukan di Indonesia telah menerapkan prinsip dan kriteria sustainability (keberlanjutan).

Bukti bahwa sawit dan ISPO sudah menerapkan prinsip berkelanjutan tersebut ada pada data lansiran Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan 

Lembaga pimpinan Menteri Siti Nurbaya ini menyebut   dalam lima tahun terakhir kita sudah tidak ada lagi pelepasan kawasan hutan. Itu sekaligus menjadi bukti bahwa tak ada lagi hutan yang dibabat untuk kepentingan pembukaan perkebunan pohon ini.

Semua itu juga diperkuat dengan adanya moratorium alias penghentian pembukaan lahan baru untuk perkebunan yang ditetapkan presiden Joko Widodo sejak tahun 2018 lalu.

Itu belum termasuk fakta bahwa sejatinya tuduhan sawit adalah biang deforestasi adalah tuduhan mengada-ada. Seperti kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin  yang mengatakan bahw sawit sebagai biang deforestasi adalah omong kosong bisa dilihat dari data berikut.

Penggunaan lahan minyak kelapa sawit hanya berkisar 6,6 persen dari total lahan dunia. Sementara itu, area yang digunakan untuk menanam kedelai mencapai 9 kali lipat dari total lahan kelapa sawit.

Pada sisi lain, Produktifitas kelapa sawit pun signifikan lebih besar ketimbang kedelai, biji bunga matahari dan jenis nabati lain. Penggunaan lahan kelapa sawit yang 6,6 persen mampu memproduksi 38,7 persen output pada tanaman jenis lain tersebut.

Untuk itu, ragam data, kampanye dan dialog dengan pihak-pihak Uni Eropa harus dijalankan secara sinergis, sehingga menjadi satu kekuatan untuk membuktikan bahwa tuduhan Uni Eropa tersebut tidak benar, dan yang mereka lakukan adalah diskriminasi perdagangan. Sebuah aksi dan tindakan yang terlarang berdasarkan aturan WTO.

Kesatuan aksi tersebut menjadi factor kunci jika Indonesia ingin menang jika  masalah RED II  ini sampai ke meja pengadilan WTO. Dan  jika langkah terakhir ini tetap diambil Indonesia, Uni Eropa tentu sudah tidak bodoh dan telah mempersiapkan beragam strategi yang ujung-ujungnya tetap akan menguntunkan mereka.

Sebab, pada akhirnya, kalaupun Indonesia yang dimenangkan, mereka tetap saja akan mengembalikan kasus ini sebagai persoalan Indonesia, khususnya dalam prinsip industry berkelanjutan yang sesuai dengan keuntungan mereka. Bukankah mereka selaku konsumen merasa lebih berhak dalam menentukan kualitas dan cara produksi barang yang akan mereka gunakan.?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun