Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jangan Terlalu Mudah Memarahi Siswa!

27 Februari 2021   20:38 Diperbarui: 1 Maret 2021   05:44 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Marah-Marah. Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

"Terkadang, marah-marah merupakan cara kilat agar siswa tidak lagi mengulang kesalahan yang sama esok hari."

Siswa enggan bikin tugas sekolah? Siswa sering telat datang ke sekolah? Marahi saja, lalu di hari itu juga mereka bakal sadar atas pelanggaran yang dilakukan. Tapi esok hari, siapa yang tahu. Siswa bisa saja mengulangi kesalahan yang sama dan kembali dimarahi oleh guru.

Jikalau para generasi penerus bangsa tersebut sering dimarahi dan melanggar tata tertib sekolah, maka dalam waktu beberapa bulan ia akan terkenal sebagai siswa yang spesial, dijadikan bahan utama pidato guru, bahkan hingga siswa tersebut tamat dari sekolah.

Sekilas, cara di atas terdengar biasa saja, kan? Mudah pula! Cukup dengan marah, siswa yang tadinya berperilaku seenak hati langsung terdiam, sedangkan gurunya terkesan tampil sangat berwibawa. Padahal... Tidak sama sekali!

Menurut kacamata siswa, guru yang sering marah cenderung ditakuti dan dijauhi. Setiap kali siswa datang ke sekolah, diupayakan semaksimal mungkin agar mereka tidak berpapasan langsung dengan sang guru yang sudah terkenal rajin marah.

Bahkan, saya pula demikian, terutama dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kala itu kami memiliki penjaga sekolah yang sering marah-marah dan berteriak memanggil siapa saja siswa yang terlihat oleh kedua bola matanya.

Sontak saja kami bersembunyi di sudut-sudut kelas, serta berusaha semaksimal mungkin agar tidak terlihat oleh sang penjaga sekolah. Ya... mau bagaimana lagi, kami kan takut! Hemm.

Jauh melangkah menuju beberapa tahun ke masa depan, tepatnya pada era milenial di hari ini, ternyata kisah itu masih sama. Di beberapa situasi, saya sering melihat sendiri ekspresi ketakutan anak-anak ketika mereka akan didatangi oleh guru yang rajin marah-marah.

Canda, tawa, serta riang gembira mereka bertukar wajah menjadi mendung. Para siswa mulai meraba-raba diri dan kelakuannya, serta seakan-akan sedang berusaha untuk mencari alasan kalau-kalau nanti ada sesuatu yang salah dari diri mereka di hadapan guru.

Saya sadar betul akan perubahan perilaku yang tampak dari raut wajah mereka, soalnya saya sendiri dulunya juga begitu.

Meski demikian, saya enggan balas dendam dengan menjadi seorang guru yang rajin marah-marah. Jujur saja, marah itu capek dan melelahkan. Ya, walaupun saya tahu apa yang dilakukan siswa itu salah dan terkadang memantik emosi hingga menuju tingkatan tertinggi.

Tertuang dalam Daily Health Post (08/09/2014), ketika seseorang sedang marah maka tekanan darah, suhu tubuh, kecepatan napas, bahkan detak jantung akan meningkat.

Syahdan, darah yang tadinya biasa mengalir ke perut dan usus bakal berubah arah menuju ke otot sembari menyiapkan tubuh untuk bertarung. Jadi, titik simpul yang bisa kita rengkuh adalah, bakal muncul tindakan irasional dari seseorang yang sedang marah.

Dan jika marah itu tidak lagi terkontrol, maka siap-siaplah menyesal karena diri sudah tidak sadar bahwa mulut dan anggota tubuh lainnya sudah berbuat apa.

Bayangkan bila kemudian yang sering marah-marah ini adalah guru, kan sungguh tidak baik jadinya.

Bukannya menjadi sosok teladan atau sosok pengajar yang dicintai, guru malah jadi sosok pengancam yang selalu ingin dijauhi oleh siswa. Maka dari itulah, guru sebaiknya jangan terlalu mudah memarahi siswa.

Daripada Marah, Cobalah untuk Peka

Rasanya tidak mungkin seorang siswa "Selalu Salah" seperti halnya judul lagu Geisha. Jikalau siswa tidak luput dari kesalahan, itu baru wajar, karena begitulah manusia.

Nah, sebagai imbas dari kewajaran ini, rasanya kurang profesional jikalau guru langsung merespon kesalahan/pelanggaran yang dilakukan oleh siswa dengan cara marah-marah.

Terang saja, dalam dunia siswa mereka juga punya masalah. Entah itu kekurangan uang jajan, kurang diperhatikan oleh ayah bunda, ribut-ribut dengan teman sebaya, hingga sedang tidak akur dengan saudara.

Bagaimana guru bisa tahu semua itu? Tidak ada cara lain kecuali bermula dari kepekaan. Ketika guru memasuki kelas, maka salam pembuka di kelas adalah kunci. Salam bukan sekadar salam melainkan juga mengamati perilaku siswa.

Adakah dari mereka yang cemberut dan merengut, adakah dari mereka yang lupa bikin tugas, adakah dari mereka yang setengah hati menjawab salam, semua bisa dibaca situasinya oleh guru.

Ketika siswa lupa mengerjakan tugas, apakah tugas tersebut bakal langsung selesai jikalau siswa dimarahi di depan kelas? Jelas tidak. Disiplin memang wajib untuk digaungkan, tapi memulainya dengan kemarahan adalah kesalahan besar.

Daripada marah, mengapa guru tidak mencoba menggali lebih jauh mengapa siswa lupa bikin tugas.

Jika digali secara perlahan, biasanya guru akan mendapatkan alasan jujur bahwa siswa yang lupa bikin tugas bisa jadi karena mereka tidak mengerti dan bingung mau bertanya kepada siapa ketika di rumah.

Nah, sip! Jika itu alasannya, maka di situlah kesempatan guru untuk masuk ke hati siswa sembari menuangkan perhatiannya. Yaitu dengan menerangkan, menjelaskan, serta mentranfer ilmu yang siswa butuhkan. InsyaAllah, di hari esok siswa tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Kelihatannya cara tersebut sangat sederhana, bukan? Tentu saja. Tapi sayang, kisahnya di dunia nyata tidaklah sesederhana itu. Selain siswa, guru juga punya segudang masalah.

Entah itu tentang cicilan rumah, cicilan mobil, arisan, hingga uang sekolah anak semuanya bisa menjadi cikal bakal kemarahan seorang guru di kelas.

Kalau sudah begitu, kunci terbaik agar tidak marah ialah dengan jangan bawa-bawa masalahmu ke ruang kelas. Datanglah ke kelas sebagai seorang guru yang ingin menuangkan ilmu dengan niat yang tulus serta meninggikan sabar.

Kalau niat sudah tulus, biasanya ketenangan hati mudah didapat sehingga guru bisa lebih bijaksana menghadapinya "kerasnya" kehidupan di ruang kelas.

Atau mau ditambah dengan wudhu? Wah, jalan itu sungguh lebih baik. Secara, marah itu ibaratkan api yang sedang berkobar dan api bakal segera padam jikalau disiram dengan air (HR. Ahmad).

Demikian, salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun