Tak terasa minggu depan sekolah-sekolah di bumi Pertiwi sudah berjumpa dengan tahun ajaran baru 2020/2021. Dan terlepas dari berbagai polemik yang hadir, PPDB pun telah memasuki garis akhir.
Ada anak yang masuk ke sekolah negeri, ada anak yang masuk ke sekolah swasta, dan ada pula anak yang lebih memilih untuk masuk ke pesantren.
Apa pun pilihan sekolah, rasanya sah-sah saja dan setiap orangtua memiliki hak untuk menyekolahkan anak di sekolah yang menurutnya "terbaik".
Terbaik di sini sebenarnya memiliki beragam arti. Ada yang memandang bahwa sekolah terbaik adalah sekolah negeri yang jaraknya dekat dengan rumah sendiri sehingga anak cukup bersekolah dengan jalan kaki.
Jadi, beruntung bila kebetulan ada orangtua yang rumahnya dekat dengan sekolah negeri favorit. Karena ada sistem zonasi, secara otomatis anaknya akan di terima di sekolah terdekat.
Syahdan, ada yang memiliki gagasan bahwa sekolah terbaik adalah sekolah negeri yang dicap favorit sejak bertahun-tahun lamanya. Untuk menggapai keinginan ini, beberapa dari mereka sudah berancang-ancang pindah KK terlebih dahulu agar terhindar dari "jeratan" zonasi.
Dulu, saat bekerja sebagai guru honorer di sekolah negeri favorit dan menjadi panitia seleksi PPDB, lumayan banyak pula anak-anak dari jauh yang pindah KK. Lagi-lagi, orangtua yang seperti ini juga mencari yang namanya kualitas.
Lebih dari itu, ada pula orangtua yang beranggapan bahwa sekolah terbaik bagi anaknya adalah sekolah swasta yang memiliki muatan pembelajaran komprehensif, jam belajar lebih lama--seperti sistem full day school-- dan terpadu.
Mahal tidak jadi soal karena sebagian orang meyakini bahwa mahalnya sekolah setara dengan kualitas yang ditawarkan. Bahkan, mahalnya belajar di sekolah swasta tidaklah mengotak-ngotak status ekonomi.
Buktinya adalah teman saya yang saat ini berprofesi sebagai guru honorer. Tahun ini beliau mendaftarkan putrinya untuk bersekolah di SD swasta terpadu yang sejatinya cukup jauh dari tempat tinggal.