Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

4 Adab Berjualan dalam Perspektif Masyarakat Suku Rejang (Bengkulu)

17 April 2020   23:53 Diperbarui: 18 April 2020   15:50 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto para pedagang buah di Pasar Atas Curup, Bengkulu (Dok. Ozy V. Alandika)

"Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelengan, Bekulak Samo Penoak, Bageak Samei Kedeu"

Berjualan alias berdagang merupakan salah satu pekerjaan mulia di muka bumi ini. Bahkan, dalam kalam hadis Nabi Muhammad SAW tertuang ungkapan bahwa "sebaik-baiknya usaha adalah berdagang."

Tapi, isyarat hadis ini memberikan batasan-batasan tersendiri. Usaha dagang tidak boleh keluar dari aturan syari'ah dan adab-adab berjualan di masyarakat. Jika sudah keluar batas seperti berjualan barang haram, berarti tiada sebiji kebaikanpun yang dapat kita petik darinya.

Untuk itulah penting kiranya kita sebagai masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang untuk tetap berada di jalur yang lurus dalam berjualan. Entah itu berjualan di pasar tradisional, berjualan di depan rumah sendiri, atau bahkan berjualan via online semuanya butuh adab.

Mengenai adab berjualan ini, masyarakat suku Rejang punya pandangan dan nasihat yang begitu mengena. Tercatat dalam ingatan, ada 4 adab yang dituangkan dalam sastra lisan alias peribahasanya masyarakat Rejang.

Pertama, Betimbang Samo Benek (Menimbang Sama Beratnya)
Adab pertama dalam berjualan menurut masyarakat suku Rejang adalah "Menimbang Sama Beratnya". Adab ini mengandung isyarat bahwa seorang pedagang harus jujur dan terang dalam mengukur berat barang yang dijualnya. Jangan sampai ada manipulasi alias kecurangan.


Jujur saja, bila dagangan yang ditimbang berat menurut ukuran pedagang namun ringan bagi pembeli, maka celakalah sang pedagang tadi. Berarti ia tidak terang, tidak jujur, dan tidak amanah dalam menjalankan profesinya.

Makin celaka lagi andai pedagang tadi menerapkan timbangan yang berat sebelah ini di dalam kehidupan bermasyarakat. 

Masalah yang hanya diukur beratnya secara sepihak tidak akan mendapat konklusi, melainkan malah melahirkan butir-butir masalah baru yang lebih ruwet.

Atas dasar inilah, apapun barang dagangan, seperti apapun sistem berdagang, sebaiknya para pegiat usaha terus menggaungkan kejujuran dan keadilan dalam berjualan.

Kedua, Bekilo Samo Kelengan (Mengilo Sama Ringan)
Mengilo sama ringan, adab kedua ini mengandung makna bahwa seorang pegiat usaha dagang jangan terlalu "gila" dalam menaruh harga. 

Pedagang meninggikan harga dengan keuntungan yang berlipat ganda, sedangkan pembelinya mau tidak mau harus beli, karena butuh.

Misalnya seperti kasus penimbunan masker yang beberapa kali terjadi di tengah pandemi Covid-19. Pelaku yang sanggup menimbun masker demi keuntungan pribadi kiranya sungguh tidak beradab, meski alasannya darurat sekalipun.

Saat seorang pedagang terbukti viral karena sudah mengilo tidak sama ringan, saat itu pula nilai kepercayaan masyarakat terhadapnya mulai rapuh. Maka darinya, jagalah kepercayaan pelanggan dengan tidak menipu/menyakiti hati mereka.

Rezeki, terutama bagi para pedagang tidaklah sekadar tentang berhasil menjual barang dengan keuntungan yang berlipat ganda. 

Kepercayaan pembeli adalah rezeki, karena dengan kepercayaan akan banyak pembeli-pembeli lain yang berdatangan. Minimal, ada langganan.

Dari sini, para pedagang sebaiknya bijak dalam mengambil keuntungan. Memang, tidak ada batas-batas zhahir tentang berapa banyak keuntungan yang boleh dipatok, tapi perhatikan pula para pembeli. Akan lebih baik jika pedagang menjunjung tinggi transparansi.

Ketiga, Bekulak Samo Penoak (Mengulak Sama Penuhnya)
Pernah dengar tentang Kulak? Kata kulak sebenarnya diwariskan dari zaman kolonial dan KBBI mengartikannya sebagai satuan ukuran timbangan berat, tepatnya 4 cupak beras.

Dalam adab berjualan masyarakat suku Rejang, mengulak atau mengukur timbangan suatu barang jualan harus sama penuh alias sama takarannya. Satuan ukuran timbangan yang dipakai sama, antara pembeli dan penjual. Jika beda ukuran, maka ada kezaliman di dalamnya.

Tidak jauh beda dengan "Betimbang Samo Benek", adab mengilo sama penuhnya juga mengutamakan kejujuran pedagang dalam berjualan. Jujur sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat suku Rejang, karena kejujuran akan mendapatkan banyak maslahat.

Keempat, Bageak Samei Kedeu (Membagi Sama Rata)
Adab berjualan yang terakhir, yaitu membagi sama rata. Seperti halnya mengembangkan usaha dagang secara bersama-sama, maka tiap-tiap pengusaha juga mesti mendapat hasil yang sama secara rata.

Rata di sini dapat memuat semua sisi dari hasil dagang. Jika untung, maka sama-sama untung. Jika rugi, maka sama-sama rugi. 

Dan jika penghasilan hanya sekadar cukup, maka dicukupkan secara rata agar semua mendapatkan bagian yang sama, alias tidak berat sebelah.

Di dalam kehidupan nyata para pedagang, tantangan yang cukup berat adalah saat masing-masing pegiat usaha melawan hawa nafsu atas keuntungan yang didapat. Kadang pula, seiring jalannya usaha ada beberapa oknum yang suka membanding-bandingkan jerih payah.

Tantangan ini jika tidak dihadapi secara objektif dan hati yang bersih, bisa menjadikan persaudaraan antar sesama pedagang pecah-belah. Maka dari itulah, adab-adab berjualan ini mesti dipegang teguh dengan niat yang tulus tidak lain hanyalah untuk beribadah.

Ketika ada masalah, masyarakat Rejang menanggapi dengan "Saleak cong udi bepapet" yang berarti "Salah Mencincang Kamu Merapat."

Maknanya,ketika ada polemik atau masalah yang mengacaukan keharmonisan hubungan persaudaraan masyarakat suku Rejang, usahakanlah merapat alias mengembalikan hubungan seperti semula.

Caranya adalah dengan tulus meminta maaf, dan jika ada salah maka bertulus hati mengakui kesalahan.

Adab yang merupakan bagian dari adat suku Rejang ini sangatlah penting, terutama untuk menjaga keharmonisan hubungan rakyat Rejang. 

Nasihat-nasihat bisa dituangkan dengan nada sindiran, teguran, pengajaran, hingga penyampaian mana yang baik dan mana yang buruk.

Suasana pasar pagi Curup (Dok. Ozy V. Alandika)
Suasana pasar pagi Curup (Dok. Ozy V. Alandika)
Sejatinya, suku Bengkulu dengan dialeg Rejang Kepahiang, Rejang Lebong dan Rejang Curup ini sudah menjadikan adat sebagai dasar dalam berperilaku di masyarakat.

Dalam istilah suku Rejang disebutkan bahwa adat "Coa Melkang Keno Panes, Coa Mobok Nukai Ujen", yang berarti "Tidak Lekang Karena Panas, Tidak Lapuk Karena Hujan". Saking kuatnya prinsip adat Rejang, dituangkanlah perwujudan perilakunya ke dalam adab.

Terang saja, ungkapan sastra lisan yang baru saja saya sebutkan tadi bukanlah sekadar peribahasa sederhana saja.

Sebagai nilai-nilai budaya yang luhur, adat Rejang yang diwujudkan dalam adab berperilaku ini didasarkan atas sumber yang shahih, yaitu kitab suci Al-Qur'an dan diwariskan secara turun-temurun sampailah saat ini.

Kiranya dengan warisan turun-temurun ini adat suku Rejang bisa terus bertahan di era milenial. Saya sendiri, sebagai seorang suku Rejang Curup mulai merasa ada yang nilai-nilai adat yang berkurang, khususnya dari segi bahasa Rejang.

Harapannya, generasi penerus suku Rejang bisa terus menggaungkan dan mewujudkan nilai-nilai adat serta adab suku Rejang dalam kehidupan sehari-hari, sampai ke anak cucu kita nanti.

Salam.

Sumber: BMA, Kelpeak Ukum Adat Ngen Riyan Ca'o Kutei Jang Kabupaten Rejang Lebong

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun