Belum selesai di sini, pemerintah daerah juga tidak mau melulu tersalahkan. Sepanjang perjalanan pendidikan, setiap pemerintah daerah pasti terus melakukan analisis kecukupan guru hingganya mereka selalu mengajukan sekian dan sekian kebutuhan guru PNS ke pemerintah pusat.
Pertanyaannya kemudian adalah, berapa persen ajuan kebutuhan guru PNS yang di-ACC oleh pemerintah pusat? Kiranya, jarang ada yang seratus persen di-ACC. Karena guru PNS di daerah kurang, maka sekolah akan merekrut guru honorer. Siklus ini terus berjalan dan berlanjut.
Inilah yang kemudian menjadikan pemerintah seakan tersalahkan secara berjamaah. Kita cukup tahu bahwa dari segi APBN, pemerintah belum begitu mampu menggaji guru secara keseluruhan. Buktinya? Gaji guru PNS terbilang "Cukup" Â dan karir guru honorer tidak jelas.
Kesalahan-kesalahan inilah kiranya yang turut menjadikan Indonesia darurat guru teladan. Jika kebutuhan guru di daerah terpenuhi, dan mereka bisa mengajar sesuai dengan kompetensi bidangnya masing-masing, agaknya kekerasan oleh guru bisa berkurang.
Lalu, apakah hal-hal ruwet ini bisa diselesaikan dengan kebijakan RPP 1 lembar, penghapusan UN, hingga Dana BOS? Agaknya solusi ini hanyalah bagian kecil dari permasalahan pendidikan. Hal ini pula yang menjadikan Ramli kembali menyudutkan Mas Nadiem.
Rasanya, semakin jelas kesimpulan bahwa seorang Mas Nadiem tidaklah bisa berjalan sendirian. Wajah pendidikan yang cerah bukanlah cita-cita pemerintah semata, melainkan juga seluruh penduduk bumi Indonesia.
Para orang tua bertanggung jawab dalam menata wajah pendidikan anak-anaknya melalui adab, karakter dan akhlak. Guru bertanggung jawab dalam menguasai kompetensi dasar dan menjadi teladan.
Saat guru dan orang tua sudah berjalan bersama, mereka tetap butuh pemerintah sebagai peneranng jalan.
Pemerintah juga bertanggung jawab terhadap pemenuhan dan kecukupan guru di sekolah-sekolah, kejelasan karir guru honorer, hingga kesejahteraan guru.
Salam.