Alam dan lingkungan adalah rumah yang sejati bagi umat manusia. Kelestarian alam senantiasa menopang kelangsungan manusia. Manakala alam rusak, maka secara tidak langsung hidup manusia ikut terdampak. Dampaknya bisa jangka pendek dan jangka panjang.
Bencana banjir bandang dan tanah longsor di Kabupaten Enrekang pada tanggal 26 April 2024 yang lalu memang tidak diprediksi sama sekali. Dampak bencana tersebut tidak hanya terhadap warga sekitar. Lebih jauh lagi, turut melumpuhkan roda perekonomian di Sulawesi Selatan.
Mengapa bencana banjir bandang dan tanah longsor memberikan dampak kerusakan yang besar di sekitar kota Enrekang? Saya memberikan analisis kritis berikut ini.
Hujan lebat pada hari Jumat, 26 April 2024 berlangsung selama kurang lebih 3-4 jam. Air tiba-tiba meluap dari arah perbukitan sekitar Kelurahan Tuara, Kecamatan Enrekang.Â
Aliran deras air hujan memotong dari perumahan Golden Residence dan beberapa aliran air lainnya yang menyatu dan membentuk banjir bandang menerjang kota Enrekang.Â
Dari pengamatan langsung di sekitar lokasi Kelurahan Tuara, pinggiran kota Enrekang hingga pedesaan memasuki Kecamatan Cendana, perbukitan telah banyak berubah. Pepohonan banyak yang berganti menjadi tanaman jagung.Â
Memang, Kecamatan Enrekang hingga Kecamatan Cendana banyak dibuka lahan jagung dan bisa pula dikatakan sebagai salah satu penyuplai jagung pakan terbesar di Emrekang.Â
Hal ini didukung oleh cuaca yang panas yang cocok untuk budidaya jagung. Dengan kata lain, pembukaan lahan tanam jagung di sekitar wilayah kota Enrekang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya banjir.Â
Selain ladang jagung yang marak, pembukaan lahan tanam pepaya juga banyak mengorbankan pohon-pohon jati yang selama ini menghijaukan bukit-bukit di sekitar kota.Â
Pada sisi lain, geliat pengembangan kota dengan membuka lokasi perumahan murah di arah utara kota Enrekang menuju Toraja berperan dalam kurangnya daya tahan tanah terhadap debit air hujan.Â
Selain banjir bandang, tanah longsor dan pohon tumbang juga menghantam jalan nasional dari arah Pinrang-Enrekang-Toraja. Pemicunya sama dengan banjir bandang. Di Kelurahan Tuara hingga Kulinjang, lahan tanaman jagung sangat luas. Pohon makin berkurang.Â
Daya tahan tanah makin keropos karena cara pengelolaan lahan tanam jagung adalah dengan cara menyemprot rumput dan gulma. Bisa dibayangkan jika dalam setahun 2-3 kali panen jagung, maka pada volume yang sama proses penyemprotan tanah dengan herbisida terjadi.Â
Inilah yang membuat tanah di beberapa titik jalan sekitar Kulinjang mulai bergeser, rawan amblas dan longsor.Â
Kondisi jalan amblas di Kulinjang sudah berlangsung lebih setahun. Tanah terus bergerak, sementara di kecepatan sisi jalan, tetap terbuka lahan-lahan jagung yang setiap waktu pula disemprot herbisida.Â
Tambahan pula bahwa kontur tanah di sekitar Kecamatan Enrekang, kota Enrekang hingga Cendana didominasi oleh tanah gembur berpasir. Pemeliharaan jalan yang saat ini berlangsung di Tuara dan Cendana mengakibatkan pengerukan tanah yang berbuah pergerakan tanah di musim hujan. Pohon-pohon tumbang di lebih sepuluh titik terjadi akibat pergerakan tanah pada lokasi pekerjaan jalan trans Sulawesi.Â
Untuk menekan bencana lanjutan dan jangka panjang, perlu kerja sama dari semua elemen. Pemerintah harus aktif mencegah pembukaan lahan besar-besaran untuk tanam jagung.Â
Demikian pula warga sekitar harus mulai peduli lingkungan dengan mengurangi penebangan pohon dan perilaku penggunaan herbisida yang masif.