Pagi masih berkabut di langit, tetesan embun pun masih menempel segar dengan kejernihannya di tiap dedaunan. Telapak kaki Pong Owen serasa dalam kulkas kala ia menjejakkan kedua kakinya menyusuri tanggul sawah.Â
Kira-kira 100 meter jauhnya dari pandangan mata, Pong Owen tiba juga di tepi jalan besar itu. Jalan tersebut adalah satu-satunya jalan besar penghubung kota-kota kecil di daerahnya.Â
Sisa hujan semalam mendiamkan segala jenis debu beterbangan pada jalan beraspal yang robek sana-sini. Pong Owen menatap ke arah utara jalan. Pandangannya jauh sambil telinganya memasang antena, akankah segera muncul mobil penumpang?
Pong Owen adalah seorang pria yang berprofesi sebagai guru. Ia mengajar di sebuah sekolah yang berjarak kurang kebih satu jam perjalanan naik kendaraan umum dari kampungnya.
"Ah, hampir jam 6 pagi. Belum ada tanda-tanda si merah datang," gumamnya.Â
Setiap hari sekolah, Pong Owen bolak-balik dari kampung ke kota untuk mengajar. Jarak yang relatif jauh tak memupuskan semangatnya untuk mencerdaskan generasi bangsa. Mereka ada berenam yang selalu berjumpa di kendaraan yang sama kala menuju sekolah.
"Makale!" Teriak sopir.Â
Bergegas Pong Owen naik si merah, kijang komando non power steering yang berjaya di masanya sebagai mobil rakyat.Â
Pikirannya terbelah menjadi tiga bagian di sepanjang perjalanan ke sekolah. Satu pikiran tentang persiapan mengajar di kelas. Pada satu sisi ia memikirkan perjalanannya 60 km pergi-pulang dan satu pikiran lagi melayani candaan kelima rekan kerjanya yang cantik. Mereka adalah ibu Anas, ibu Berthy, ibu Yuli, ibu Jeni dan ibu Debby.Â
***