Mohon tunggu...
Yulius Roma Patandean
Yulius Roma Patandean Mohon Tunggu... Guru - English Teacher (I am proud to be an educator)

Seorang Guru dan Penulis Buku dari kampung di perbatasan Kabupaten Tana Toraja-Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Menyukai informasi seputar olahraga, perjalanan, pertanian, kuliner, budaya dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Siarak, Tradisi dan Simbol Gotong-Royong Masyarakat Toraja

11 April 2024   07:01 Diperbarui: 12 April 2024   02:03 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membunyikan lesung sebagai tanda dimulainya kegiatan "siarak". Sumber: dok. Olivia Rantelangi'

Gotong-royong masih menjadi salah satu kekuatan budaya dalam kehidupan masyarakat Toraja. Kebiasaan saling mendukung dan menopang dalam mengangkat sebuah pekerjaan masih terpelihara hingga saat ini.

Kemajuan teknologi dan modernisasi memang sudah terintegrasi dalam siklus hidup masyarakat Toraja, akan tetapi kekuatan gotong-royong (siangkaran, situnduan) masih lestari. 

Salah satu wujud gotong-royong ini adalah kegiatan "siarak." Istilh ini bisa diartikan sebagai bersama-sama. Dalam istilah kurikulum merdeka sepadan dengan kata kolaborasi. 

"Siarak" erat kaitannya dengan implementasi appreciative inquiry (AI). "Siarak" memiliki filosofi bahwa kekuatan besar itu ada dalam kebersama-samaan. Sebuah keberhasilan hanya bisa terjadi jika dikerjakan bersama-sama. Sehingga ketika AI mulai diperkenalkan di era Kurikulum Merdeka, sebenarnya orang Toraja sudah mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. "Siarak" adalah simbol AI bagi orang Toraja. Ini adalah penghargaan atas kekuatan yang lahir dari kerja sama. 

"Siarak" dilaksanakan pada prosesi pembuatan pondok (lantang) untuk upacara/acara "rambu solo' (kematian). Warga sekampung akan datang bersama-sama untuk mendukung rumpun keluarga yang sedang berduka. Mereka akan memberikan tenaganya sehari penuh untuk membantu pembuatan puluhan hingga ratusan petak pondok. 

"Siarak" diadakan ketika semua bahan baku untuk pembuatan pondok telah siap di sekitar rumah duka. Ratusan batang bambu, kayu, atap, dll akan dipadukan oleh warga menjadi bangunan pondok dibawah komando seorang ketua panitia dan koordinator pemondokan. 

Tradisi "siarak" ditandai dengan aktifitas membunyikan lesung kayu oleh para ibu-ibu. Lantunan dan kecepatan bunyi lesung memiliki aturannya sendiri. Termasuk cara dan posisi dari setiap perempuan yang bertugas membunyikan lesung juga bervariasi.

Bunyi lesung ini seperti kode dan instrumen penyemangat bagi semua warga yang bekerja. Lesung ini akan ada dan dibunyikan secara berkala selama proses persiapan hingga pada prosesi puncak rambu solo'.

Satu ekor kerbau dikurbankan pada kegiatan
Satu ekor kerbau dikurbankan pada kegiatan "siarak". Sumber: dok. Olivia Rantelangi'. 

Prosesi "siarak" juga ditandai dengan pengurbanan hewan. Pada artikel ini, dikurbankan seekor kerbau dan tiga ekor babi. Daging dari semua kurban ini akan dikonsumsi oleh warga yang datang dalam "kasiarakan."

Daging kerbau dimasak dalam sebuah kuali aluminium besar. Kuali ini ditempatkan di tengah halaman (ulu ba'ba) rumah duka. Daging kerbau dipotong besar-besar dan dimasak selama berjam-jam.

Sementara daging babi diolah dan dimasak lewat cara tradisional yakni dimasak dalam wadah bambu yang biasa disebut pa'piong. Semua warga yang datang "siarak" makan bersama dan seluruh daging yang dikurbankan dihabiskan pada saat itu.

"Siarak" berlangsung dalam satu hari saja. Laki-laki dan perempuan akan bersama-sama bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing. Para ibu-ibu akan mendukung ketersediaan makanan dan minuman serta semua aktifitas yang terkait dengan bagian dapur. Laki-laki fokus pada pembuatan pondok.

Semua aktifitas dan prosesi "siarak" diselenggarakan dalam bingkai alur adat Toraja yang terkait dengan kedukaan. Dalam sehari "kasiarakan" ini pondok-pondok untuk tamu yang akan datang melayat nantinya sudah berdiri kokoh.

Selanjutnya, tinggal tahap penyelesaian yang akan dikerjakan secara bertahap oleh bagian pemondokan dan keluarga. 

Adapun almarhum yang diselenggarakan "siaraknya" bernama alm. J. N. Pakombong M. yang akrab disapa Nek Arung. Beliau adalah pensiunan Polri.

Pada masa aktifnya, ia pernah menjabat sebagai Kapolsek Alla di Kabupaten Enrekang. Ia meninggal pada bulan Februari 2018. Berdasarkan kesepakatan keluarga, upacara rambu solo' untuk almarhum dijadwalkan dimulai pada tanggal 6 Mei 2024.

Warga sekampung bekerja bersama pada kegiatan
Warga sekampung bekerja bersama pada kegiatan "siarak". Sumber: dok. pribadi. 

"Siarak" hanya dilaksanakan pada prosesi pembuatan pondok untuk keturunan bangsawan. Dengan kata lain, "siarak" adalah prosesi untuk jenazah dengan pengurbanan minimal 12 ekor kerbau jantan. Kerbau jantan ini pun memiliki "tedong tanda" atau kerbau dengan bulu yang lengkap untuk sebuah prosesi kematian bangsawan Toraja. Ada kerbau saleko, bonga, lotong boko', todi', pudu', dan balian. 

Jadi, "siarak" tak sembarang dilakukan. Dilaksanakan berdasarkan tatanan adat Toraja. Meskipun hanya dilakukan untuk kalangan tertentu, akan tetapi dalam lingkup nilai sosial, "siarak" ini membawa kebahagiaan dan kesejahteraan secara ekonomi untuk semua warga dalam satu kampung tanpa melihat strata sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun