Suku Toraja masih memelihara tradisi menyimpan mayat hingga saat ini. Walaupun agama Kristen dan Katolik telah menjadi agama terbesar di Toraja, tradisi menyimpan mayat masih dipertahankan. Tradisi ini sebenarnya tradisi dari agama leluhur Toraja, yakni "Aluk Todolo", mirip dengan aliran kepercayaan.
Tidak semua mayat bisa disimpan lama. Almarhum atau almarhumah haruslah dari kalangan bangsawan. Mayat disimpan hingga bertahun-tahun sampai rumpun keluarga siap untuk melaksanakan acara dan ritual pemakaman secara adat.
Nah, sebelum mayat disimpan, terlebih dulu disiapkan tempat khusus dimana mayat akan dibaringkan untuk waktu yang lama selama masa penyimpanan. Tempat menyimpan mayat ini oleh orang Toraja disebut "Kopak".
"Kopak" adalah bambu yang disusun sedemikian rupa sebagai tempat menyimoan mayat dalam waktu yang lama. "Kopak" dibuat dari bambu petung atau bambu "pattung" dalam bahasa Toraja. Adapun bambunya adalah bambu yang tidak terlalu tua. Dua potong bambu yang dibelah dua menjadi tempat pembaringan mayat. Di kedua ujungnya juga dipasang belahan bambu dengan ukuran yang lebih pendek masing-masing tiga buah. Cara menyambungkan belahan bambu di tengah dan kedua ujung pun berbeda. Cara mengikat dan menyambung tidak sembarangan dilakukan. Semua memiliki makna.
"Kopak" juga dikenal di tempat lain di Toraja dengan istilah "dipattungan" , "ma'pepattung" atau "diparokko pattung" yang artinya mayat disimpan/diletakkan di atas belahan bambu.
Mayat yang diletakkan di atas "kopak" adalah mayat yang sudah dibungkus kain. Dalam bahasa Toraja disebut "dibalun." Mirip dengan jenazah Muslim yang dibungkus kain kafan.
Fungsi utama dari "kopak" adalah menampung cairan dari jenazah yang disimpan lama. Jadi, belahan bambu tersebut menampung sekaligus menyerap cairan dari mayat. Dalam waktu yang lama tersebut, mayat akan mengering menyerupai mummi.
Saat ini oleh karena modernisasi dan ke-Kristenan yang dianut sebagian besar Suku Toraja, maka sebagian besar mayat yang disimpan lama tidak lagi langsung ditempatkan di atas "kopak." Mayat langsung dipakaikan dengan pakaian dan disimpan dalam peti. Yang menggantikan "kopak" adalah pakaian-pakaian dari almarhum/almarhumah yang digunakan sebagai alas dalam peti. Dengan demikian, cairan dari mayat terserap oleh pakaian tersebut sehingga tidak merembes keluar dari peti. Tambahan pula, mayat sudah disuntik dengan cairan formalin.
Suku Toraja juga masih memanfaatkan bahan alami dalam menyimpan dan mengawetkan jenazah. Di beberapa wilayah Toraja, cairan formalin masih jarang digunakan dan masyarakat lokal setempat masih memanfaatkan pengawet mayat dari alam.