Mohon tunggu...
Mas Wahyu
Mas Wahyu Mohon Tunggu... In Business Field of Renewable Energy and Waste to Energy -

Kesabaran itu ternyata tak boleh berbatas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sensasi Syahrini Vs Anies Baswedan Soal Kata

19 Oktober 2017   12:07 Diperbarui: 20 Oktober 2017   01:00 3556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan 2017 - 2022 bersama Wakil Guberur DKI Jakarta Sandiaga Shalahuddin Uno (tribunnews.com)

Penempatan kata atau frasa tidak hanya dalam tata bahasa yang disepakati kaidah pemakaiannya, namun juga terkadang Pemerintah pun memberikan aturan tertentu dalam pemakaiannya, bahkan Tuhan pun ikut cawe-cawe mengaturnya. Semua karena mengingat konteks dan sejarah kata itu.

Sebelum kita urai dalam konteks apa Tuhan cawe-cawe  soal kata. Kita lihat dulu kata "pribumi".

Menurut Fasisal Aslim (Zenius.net, 2015), isstiah pribumi digunakan oleh penjajah Belanda yang menunjuk pada satu kelompok penduduk Hindia Belanda yang berasal dari suku-suku asli Kepulauan Nusantara, kemudian disebut inlander. Sedangkan penduduk Indonesia keturunan Cina, India, Arab (semuanya dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen), dan Eropa maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia.

Kebijakan penjajah Belanda yang antipati dengan suku asli kepulauan Nusantara, pada akhirnya merekrut pekerja dan pedagang dari Tiongkok, India dan Arab untuk bekerja dan berdagang di belahan Nusantara lainnya, seperti Pontianak, Medan, Maluku, Papua, Makassar, Padang, dll. Ketidak percayaan penjajah Belanda kepada pribumi, maka dibuatlah perkampungan-perkampungan Pecinan yang dibikin eksklusif seperti pejabat-pejabat Belanda. 

Inilah sumber permasalahan berbau rasisme yang sampai sekarang masih menghantui kondisi sosial masyarakat Indonesia. Ulah penjajah yang pada waktu itu selalu menganggap manusia perlu diklasifikasi, akhirnya berujung pada justifikasi dan perilaku diskriminatif terhadap golongan etnik tertentu. Hal itu berlarut-larut menjadi dampak yang lebih luas, dari mulai ekslusivitas sampai kecemburuan sosial dan masih terus mengakar pada masyarakat modern Indonesia, bahkan sampai sekarang.

Oleh karena itu, pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan Dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan instruksi butir Pertama yaitu "Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan Non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan."

Itulah kenapa kata pribumi sebaiknya dihindari, karena mempunyai sejarah yang panjang dan diskriminatif pada bangsa ini. Jika dibiarkan tanpa pengaturan penggunaan kata pribumi dalam komunikasi resmi dan pergaulan dikhawatirkan memunculkan kembali perasaan diskrimintaif dengan derajad keparahan yang lebih tinggi dan memecah belah persatuan bangsa yang sedang membangun ini

Bahkan, sebelumnya sekitar 1400 an lalu Tuhan Allah SWT telah memberikan peringatan soal penggunaan kata dalam Al Quran. Jika kata itu menyebabkan tersakitinya pihak lain, Allah memerintahkann untuk menggunakan kata lain yang sepadan. Coba simak Firman Tuhan dalam Al Quran berikut.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): Raa'ina, tetapi katakanlah: Unzhurna, dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah ayat 104).

Coba perhatikan terjemahan firman itu. Dalam kalimat itu terdapat kata Raa'ina artinya "sudilah kiranya kamu memperhatikan kami" dan unzhurnaa dengan arti yang kurang lebih sama.

Turunnya ayat itu bukan tanpa alasan, sebabnya yaitu sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Mundzir, dari Sadiy, katanya, "Ada dua orang Yahudi, yaitu Malik bin Shaif dan Rifa`ah bin Zaid, jika mereka bertemu dengan Rasulullah saw dan melawannya berbicara, mereka mengatakan kepadanya, 'Raa`ina dan seterusnya.'Menurut Abu Na`im dalam kitab Dalail, dari jalur Sadiyush Shaghir dari Al-Kalbiy, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas, mengatakan, "Dalam bahasa orang-orang Yahudi, raa`ina itu berarti makian keji.

Karena ketidaktahuannya, para sahabat menggunakan kata tersebut kepada Rasulullah. Demikian juga kedua orang Yahudi itu, namun keduanya dalam mengucapkan kata raa'ina  dengan cara digumamkan. Alih-alih menyebut raa'ina  padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat. Makna itu dimaksudkan untuk mengejek Rasulullah Muhammad saw.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun